![]() |
| Sumber: |
*Oleh Fadhilah Azis
Aksi
protes terkait diskriminasi dan berbagai kebijakan yang dirasa menyimpang
adalah hal lumrah yang dilakukan oleh pemuda bergelar mahasiswa. Mengutarakan
aspirasi, menentang perilaku semena-mena para petinggi, serta menyuarakan hak
asasi menjadi deretan wajib yang menjadi alasannya.
Mengambil
defenisi dari Sidney Hook, bahwa demokrasi adalah menempatkan rakyat sebagai
pemegang kekuasaan tertinggi, setiap keputusan yang diambil harus sesuai dengan
kesepakatan dan disetujui langsung oleh
rakyat. Itu dari segi universal, maka mahasiswa mendefenisikannya sebagai
persamaan hak dan kewajiban juga perlakuan yang sama bagi semua pihak.
Ada
juga Undang-Undang no.9 tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat dimuka
umum, satu bentuk deklarasi hak asasi manusia. Tapi agaknya, berbagai aturan
dan pendapat ini malah berujung pada pola pikir yang konsevatif dan mulai dominan dikalangan mereka.
Penuntutan
aspirasi seharusnya memiliki landasan yang kuat, bukan sekedar aksi tanpa
pemikiran yang rasional. Setiap permasalahan yang menjadi objek unjuk rasa
haruslah jelas, latar belakang dan unsur sebab akibatnya. Melakukan aksi karena
ikut-ikutan, ini yang lebih parah. Bekoar-koar memprotes ini itu demi pujian
berbau aktivis. Jika memang berpendidikan maka sikapi saja sebagai orang yang
berilmu tinggi.
Contoh
saja kemanikan BBM, kebijakan yang sekali dengar sudah menjadi provokasi bagi
mereka untuk turun kejalan dan bertindak anakris. Menghina presiden dengan
julukan-julukan tak terpuji, bukankah seseorang yang berpendidikan seharusnya
tau bagaimana cara menghormati pemimpin mereka?
Kebijakan
pemerintah yang memilih mengalokasikan subsidi ke sektor produktif, pendidikan,
kesehatan dan fasilitas umum. Dibanding subsidi BBM yang lebih banyak dinikmati
masyarakat atas tanpa peranan penting bagi kestabilan Ekonomi masyarakat
menengah kebawah.
Membentuk
barisan dan menyoraki hak masyarakat kecil atas kenaikan harga sembako sebagai
dampak yang mengikutinya. Tapi saat demonstrasi, malah berujung rusuh dan
memicu kerusakan bangunan dan fasilitas, kemacetan sepanjang jalan karena
penutupan secara paksa, serta bentrok dengan pihak kepolisian atau bahkan
warga. Bukankah dengan begitu masyarakat kecil juga ikut merasakan kerugiannya?.
Kalau begitu, siapa yang menyoraki dan siapa yang seharusnya disoraki?
Ini
hanya satu contoh sederhana tentang betapa perlunya pemahaman yang matang dalam
setiap aksi demonstrasi. Bukan sekedar ajang penuntutan hak tapi seberapa jauh
perubahan positif yang mereka timbulkan. Menghormati bukan berarti dijatuhkan,
juga bukan berarti diintimidasi. Menghormati hanyalah bentuk kedewasaan moral
yang wajib dimiliki setiap penuntut ilmu.
Kata
‘cerdas’ disini juga tidak sebaku kosa katanya, karena orang cerdas adalah
mereka yang bisa paham sejauh mana mereka harus berbicara, menyelaraskan
pikiran juga perilaku agar bisa berjalan relevan. Mahasiswa adalah tingkat
pendidikan tertinggi diantara yang lain, senior yang terlalu sering
mengagungkan kata senioritas. Untuk itu, mahasiswa seharusnya menjadi pembawa
perubahan dengan ribuan kreatifitas. Bukan perusak yang sibuk menuntut hak
tanpa mau melirik kewajibannya

Tidak ada komentar:
Posting Komentar