Breaking News

laporan utama

Senin, 29 April 2013

Besok, UIN Mewisuda 479 Mahasiswa

Washilah Online - Besok, Selasa (30/04/13) Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar, akan mewisuda sebanyak 479 orang mahasiswa, yang terdiri dari 64 Mahasiswa Program Pasca Sarjana (PPS), 95 orang dari Fakultas Tarbiyah dan Keguruan (FTK), 19 orang dari Fakultas Dakwah dan Komunikasi (FDK), 53 orang dari Fakultas Sains dan Teknologi (FST).

Serta, 87 Orang dari Fakultas Syari’ah dan Hukum (FSH), 102 orang dari Fakultas Kesehatan (FK), 38 orang dari Fakultas Ushuluddin Filsafat dan Politik (FUP) dan 21 orang dari Fakultas Adab dan Humaniora (FAH).

Menurut kepala Biro Kemahasiswaan, Dra Nuraeni Gani, ada pengunduran pelaksanaan Wisuda, dari yang sebelumnya 26 april menjadi tanggal 30, lantaran harinya yang dianggap kurang tepat "tanggal 26 bertepatan dengan hari jum’at dan ditaksir waktunya sangat sempit. Setiap kegiatan akan kurang maksimal jika dipaksakan dilaksanakan," ungkapnya.

Selain itu, Lanjut Nuraeni Gani, pengunduran ini juga karena Rektor memiliki agenda rapat, yakni membicarakan tentang jadwal SNMPTN dengan seluruh perguruan tinggi Negeri Se – Indonesia.

Reporter: Juminah

Nenek Pahlawan Kampus

Ilustrasi
Oleh : faegah Hasyiradhy

Di pagi hari saat aku sampai di kampus peradaaban ini, aku mempunyai kebiasaan yang jarang kulewatkan dalam setiap hariku, saat aku tiba dikampus aku selalu meluangkan waktuku untuk duduk sejenak di depan fakultas , karena tempat itu memang sangat menyenagkan dan rindang ditambah lagi pepohonan yang ada di sekitarnya, membuat tempat itu banyak di pergunakan oleh mahasiswa untuk beristirahat. Biasanya aku duduk di tempat itu di pagi hari ketika aku menunggu teman-temanku dan jika tak ada lagi kegiatan kelas, tempat itu sering aku tempati untuk nongkrong bersama teman-tmanku.

Tetapi ada yang membuatku selalu terdiam ketika saya berada di tempat itu karena setiap aku ada pasti dia juga ada di tempat itu, hingga beberapa hari aku selalu meliatnya aku sangat penasaran dengan sosoknya. Sering aku berfikir bahwa mugkinkah aku yang terlalu sering datang ditempat ini, atau memang si Nenek itu yang sering, bahkan setiap saat aku melihatnya duduk ditempat itu, aku pernah berusaha untuk mencari tahu kepada mahasiswa lainya yang sudah lama sering duduk di tempat ini.

Hingga suatu hari aku melihat seorang mahasiswa yang juga rajin duduk di tempat itu. Dan aku mencoba mencari tahu tentang itu,

‘’Kak.. kalau tidak salah selaluki juga saya lihat duduk disini..?’’ kataku.

‘’iye dek.. saya memang sering duduk disini dan itu bahkan setiap hari, kenapa dek..?’’ kata Ibnu.

‘’ kak, berarti sering juga kita lihat Nenek yang sering duduk di tempat ini..?’’ kataku.

‘’ iye dek, lamami memang dek, Nenek Itu sering juga saya lihat setiap kali saya duduk di tempat ini’’ kata ibnu.

Pernyatan yang diungkapkan oleh ibnu semakin membuatku penasaran dan membuatku ingin lebih tahu tentang latar belakang Nenek itu selalu datang di kampus peradaan ini.

Disudut jalan itu tepatnya di bawah pohon yang biasanya sering di tempati oleh para mahasiswa untuk parkir motor mereka ataupun tempat yang sering dipakai bernaung ketika mereka sedang istrahat , disanalah Nenek itu sering duduk dan terdiam dengan suasana yang sangat tenang dan tak ada beban sama sekali yang di perlihatkan dari raut wajahnya, terlihat dengan santai dan duduk menikmati suasana di bawah pohon itu, matanya selalu condong ke bawah dan selalu menatap kantong plastik yang ada di genggamnya.

Entah apa yang di pikirkan, Nenek yang kira-kira sudah berusiah 70an itu setiap hari duduk di tempat yang sama. Dengan kantong plastik yang selalu dibawah dan sebatang kayu yang di pakai sebagai tongkat, yang dapat membantunya untuk berjalan menyusuri sekitaran kampus.

Berkali-kali aku melihat nenek tersebut duduk di pojok jalan itu, dia tak mengenal waktu, kadang datang lebih awal atau siang bahkan sorepun dia seringkali duduk di tempat itu. Entah apa yang ada di dalam kantong yang selalu dibawahnya tersebut,.

Akupun sangat penasaran terhadap isi kantongnya terkesan kelihatan unik. Dengan rasa penasaranku terhadap Nenek tersebut, aku mendekat dan bertanya kepada Nenek itu,

‘’Nek.. Apa isi kantongta ?

Nenek itu tak menjawab, bahkan dia hanya menggelengkan kepala dan memperlihatkan isi kantong tersebut. Dan aku pun mencoba bertanya lagi,

‘’Nek.. tinggal di manaki, kenapa setiap hari selalu saya lihatki disini?’’

Nenek , Itupun tak menjawab bahkan dia hanya memperlihatkan kepada saya semua isi kantongnya.

Sungguh malang nasib Nenek tua itu, di usiahnya yang sudah tua semestinya dia hanya perlu dirawat dan diberi perhatian oleh keluarganya tidak semestinya dia bekerja banting tulang separti itu dan ternyata kedatanganya setiap hari ke kampus dia hanya menunggu setiap orang yang minum dan membuang sembarang tempat bekas ‘’gelas plasti dan sejenis gelas-gelas minuman lainya’’.

Disisi lain Nenek tua ini juga sangat berjasa di kampus ini, karena dia selalu menunggu dan memungut setiap sampah yang bisa merusak dan membuat lingkunga jadi kotor dan tercemari, bahkan nenek itu sangat berjasa dia bisa membawa perubahan, andaikan ada salah satu mahasiswa yang meneladani sikap nenek tersebut, maka terpancarlah kebersihan dan keindahan lingkungan kampus.

Nenek tua itu sungguh luar biasa bahkan sampah yang di pungut bukanlah sampah yang ada di tong sampah layaknya pemulung semestinya, yang sudah di buang oleh pihak kebersihan kampus, tetapi dia sengaja memungut sampah yang tercecer di sekitaran kampus yang sengaja di buang oleh orang yang tidak sadar akan kebersihan lingkungan meskipun kebiasaan untuk memungut sampah di sekitar kita timbul dari kebiasaan awal dari diri hingga terbiasa.

Padahal Kebersihan lingkungan merupakan hal yang sangat penting bagi kehidupan manusia, dalam Al-Qur’an telah dijelaskan bahwa ‘’kebersihan adalah sebagian dari Iman’’, begitupun dengan pepatah yang mengatakan bahwa bersih itu pangkal kesehatan dan Bila sudah terbiasa menjaga kebersihan maka jika melihat tempat yang tidak bersih atau sedikit bemberikan perhatian tentang kebersihan dan hal yang perlu segera kita bersihkan agar hilang dari pandangan mata.

Semakin banyak kotoran yang dibiarkan menumpuk semakin tidak baik untuk dilihat yang lebih bahaya lagi akan mendatangkan berbagai penyakit dan kuranya ketidaknyamanan menempati tempat yang kotor resebut. Itulah menurutku Nilai positif yang patut diteladani oleh Nenek itu.

Setiap hari dia selalu datang di tempat yang sama, dengan pakaian yang digunakan dan hampir setiap hari sama, dari kejauhan lebih menggambarkan bahwa dia seorang yang selalu duduk di tempat itu. Dia menunggu sampah yang di buang oleh orang yang lewat di depanya, sungguh dia bukan Nenek sembarangan, sifat dan karakter yang dimiliki patut di terapkan dan diapresiasikan. Kedatanganya di kampus sangat berdampak besar, bahkan dia bisa membuat keindahan yang tak terduga di kampus.

Hingga sampai saat ini Nenek itu masih sering datang di bawah pohon itu melakukan aktivitas yang biasanya sering dilakukan, Aku menganggap bahwa Nenek itu adalah pahlawan kampus, karena bahkan di usianya yang sangat tua dia masih semangat untuk memulung di

tempat itu. Akankah dengan perilaku yang diperlihatkan oleh Nenek itu bisa membuat banyak orang sadar akan pentingnya memungut sampah disekitar kita.

*Penulis adalah mahasiswa
Kesehatan Masyarakat semester II, Fakultas Ilmu
Kesehatan….

Kamis, 25 April 2013

KISSA Fak Adab Adakan Pemutaran Film.

gambar Ilustrasi

Washilah online--Komunitas Seni Adab (KISSA) Fakultas Adab dan Humaniora (FAH) Universitas Islam Negeri Alauddin (UIN) Makassar adakan pemutaran film perdananya yang yang berjudul “Sial”.  

Kegiatan yang berlangsung di gedung lecture Theatre (LT) ini, sedianya akan dilangsungkan  selama 3 hari, terhitung sejak tanggal 24 hingga 26 April mendatang. Dalam pemutaranya, panitia melakukan pemutaran Film sebanyak tiga kali “ini dimaksudkan agar tidak bertabrakan dengan jam perkuliahan” ungkap salah seorang panitia.

Film yang berdurasi selama satu jam ini, berkisah tentang kisah-kisah lucu tentang keseharian mahasiswa. Selain itu, Film tersebut juga menyelipkan unsur kritikan terhadap Birokrasi dan Fasilitas Kampus didalamnya, seperti WC fakultas yang airnya jarang mengalir, hingga larangan memakai kaos.

Reporter: Ahmad Syafruddin

UKM LIMA Akan Gelar Training Nasional Kepenulisan.


Washilah Online-- Anda tertarik dengan dunia Sastra? Ingin belajar tentang penulisan skenario, atau bagaimana kiat-kiat menulis Novel. Jika demikian, mungkin kegitan ini cocok untuk anda. Lembaga Informatika Mahasiswa Alauddin (LIMA) akan adakan Training Nasional Kepenulisan dengan mengangkat tema “Menulis Itu Mudah”.

Kegiatan yang akan digelar pada Kamis (02/05/13) pekan depan ini, menghadirkan Sakti Wibowo sebagai pembicara. Seorang Novelis, Cerpenis, serta Script Writer. Beberapa sinetron yang pernah dia garap skenarionya seperti Dalam Mihrab Cinta, Dari Sujud ke Sujud, dan beberapa film besutan Sinemaart RCTI.

Selain sakti Wibowo, dalam kegitan ini, turut juga dihadirkan pembicara lain, yakni Waspada Santing. Mantan pimpinan redaksi Fajar, kontribur Majalah Tempo, serta pimpinan Redaksi Berita kota Makassar, yang nantinya banyak berbicara banyak mengenai .

Menurut ketua Panitia, Ismail, kegiatan ini sepenuhnya belajar tentang bagaimana menulis yng baik, serta kiat-kiat dalam menulis “pembicara yang kami hadirkan adalah pembicara yang handal dibidangnya, yang satu di bidang Sastra, dan yang lainnya dalam bidang jurnalisme” ujarnya.

Jika berminat, Lanjut Ismail, tiket kegiatan bisa langsung diambil di redaksi UKM LIMA, gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM) "teman-teman bisa registrasi di Redaksi washilah, dan biayanya hanya Rp 20.000 saja," ungkapnya.

Redaksi


DPR Siap Hentikan Pemblokiran Dana




Nurmiati SE MM, saat di temui dalam ruangannya
Washilah Online—Terhitung sejak akhir tahun 2012 lalu, Biaya untuk Pendanaan dan Oprasional dalam lingkup Universitas Islama Negeri (UIN) diblokir. Imbasnya, beberapa kegiatan UIN tersendat, sebut saja Character Building Program (CBP). Tak hanya itu, Lembaga-lembaga kemahasiswaan pun ikut terkena dampaknya. Dana yang seharusnya dipakai untuk oprasional lembaga tak kunjung cair. 

Ditemui diruang kerjanya beberapa waktu yang lalu, Senin (22/04)). Kepala Keuangan UIN, Nurmiati SE ME, menjelaskan, mandetnya dana dari pusat diakibatkan adanya keinginan pihak Dewan Perwakilan Rakyat yang menginginkan Outcome yang lebih jelas “mereka ingin rincin lebih jelas, tak hanya kegiatan apa, tapi akan seperti apa keadaan yang terjadi setelah melakukan kegiatan, apakah itu bermanfaat atau tidak” jelasnya.

Namun, Lanjut Nurmiati, pihak Bendahara dan Bagian Perencaanan sudah melakukan pertemuan dengan Pusat terkait masalah yang dihadapi Universitas “kita menjelaskan bahwa lembaga pendidikan berbeda dengan lemabaga lain, yang biaya operasional harus tetap jalan,” terangnya.  

 “setelah melakukan pertemuan, dan menjelaskan masalahnya, akhirnya mereka sudah siap mengeluarkan dana kembali, dalam waktu dekat ini” tambahnya.

Meski demikian, diakui Nurmiati, masih ada dua hal yang belum disepakati DPR untuk pengucuran dana, yakni biaya Prasarana dan Biaya Oprasional Perguruan Tinggi (BOPT), seperti Pembiayaan Pendidikan dan Pengajaran, peningkatan yang berbasis Prodi. 

Selain itu, Ia juga menjelaskan, bahwa kejadian ini tak hanya terjadi di UIN saja, namun merata di seluruh Indonesia, khususnya lembaga yang berada dibawah naungan Kementrian Agama.  

Reporter : Luqman/Asrul


Rabu, 24 April 2013

HMJ Biologi Sains Adakan Seminar Nasional

Baligho Olimpiade dan seminar HMJ Biologi sains.

Washilah Online--Ratusan peserta dari berbagai Perguruan Tinggi dan Sekolah Menengah Atas (SMA) sederajat yang ada di Makassar dan Gowa ikuti seminar nasional yang diadakan oleh Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Biologi Fakulas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar. Rabu (24/04/13). 

Kegiatan yang berlangsung di Auditorium UIN ini menyuguhkan materi tentang penyuluhan Narkoba yang dibawakan oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) serta Urgensi gizi terhadap kesehatan reproduksi oleh Eddyman W Ferial yang juga merupakan Dosen Universitas Hasanuddin. 

Kegiatan ini mendapat tanggapan positif oleh pelajar SMA, seperti yang diungkapkan Riska, ia mengaku, kegiatan semacam ini sangat menarik “kegiatan ini sangat bagus, bisa menambah wawasan tentang narkoba dan urgensi gizi terhadap kesehatan reproduksi” ujar siswa SMA 1 Parangloe ini.

Selain siswa SMA, apresiasi datang pula dari kalangan Mahasiswa, Agus contohnya. Ia mengaku kegiatan semacam ini  sangat bagus untuk perkembangan remaja “kegiatan ini sangat bagus untuk perkembangan remaja. Harapan saya, semoga kegiatan seperti ini bisa ditingkatkan untuk menambah wawasan” jelasnya. 
Selain seminar, kegiatan ini juga turut dirangkaikan dengan olimpiade Biologi tingkat SMA sederajat.
Reporter: Muhammad Yunus

Selasa, 23 April 2013

Aku Mantan Pengecut

Penulis : Nur Mustaqimah

Semuanya telah begitu berbeda hari ini. Hanya langit yang tak berubah. Jalan-jalan sudah diaspal, rumah-rumah kayu yang dulu berjejeran kini sudah tidak ada lagi, yang ada justru adalah rumah-rumah dengan pondasi batu yang kokoh. Hutan-hutan yang dulu dipenuhi pohon-pohon besar telah berganti menjadi kebun yang tanamannya ditata rapi.

Aku lelah menempuh perjalanan jauh dari Sulawesi Tengah, Palu, tempatku menetap selama dua puluh satu tahun bersama suamiku. Naik pesawat selama kurang lebih satu jam dan kini aku harus tahan duduk di kursi tengah sebuah mobil sewa. Mobil dari terminal ibu kota provinsi dengan tujuan Sinjai, sebuah kabupaten di Sulawesi Selatan tempatku menghabiskan masa kecilku dahulu.

Kini masa itu seperti bisa kusentuh dengan ujung jariku, rasanya bisa kutelan dengan sekali tegukan. Seperti dejavu, berada ditengah-tengah sejarah yang telah lama ku abadikan dalam kotak kenangan yang tergembok rapat. Tapi kali ini telah kubuka pelan-pelan dan kenangan itu berloncatan satu per satu seperti tampilan slide di layar yang tak ada tombol on-off nya yang bisa kupencet kapan saja untuk mematikannya.

“Pak…, inilah tempatku seharusnya berada”, bisikku pelan pada suamiku sambil membelai rambut Yuni kecil yang tertidur pulas di pangkuanku. Anak kedua ku yang kusertakan dalam perjalananku mengais-ngais masa lalu.
“Nikmati, teguklah baik-baik kelegaanmu hari ini”, kata suamiku sambil diiringi sebuah senyuman

    Aku mengangguk. Bagiku segala kekata yang bisa diucap sudah tidak penting lagi sebab rasa rinduku sudah mengunci setiap kekata itu. Aku merasakan rasa rindu ini seperti dikebiri, harus buru-buru disampaikan pada sebentuk hati yang mungkin telah menunggu selama bepuluh tahun. Ibu…, aku tahu ia selalu menyebut namaku di tiap do’anya. Meskipun aku telah berbuat kesalahan yang tak termaafkan.

    Masa itu, aku tidak ingin berpura-pura lupa sebab tak ada yang lebih mengingatnya melebihi diriku. Aku dan suamiku adalah pasangan yang terkungkung dalam rasa bersalah selama berpuluh tahun.
Dua puluh satu tahun yang lalu, aku lari dari rumah. Fuad yang belum menjadi suamiku waktu itu juga meninggalkan segala kepunyaannya bersamaku. Cinta datang pada orang yang salah. Tak ada yang bisa membenarkannya. Bahkan kami sekalipun. Tapi rasaku kala itu begitu memaksa. Aku tidak tahu kami diseret oleh takdir atau kami telah memaksa takdir berubah.

Aku adalah adik dari kak Murni, istri dari kakak kandung Fuad. Pernikahan mereka mempertemukan kami dua puluh tahun silam. Tapi adat istiadat tidak boleh dilanggar, Bapak marah besar sewaktu Fuad bicara baik-baik dengan Bapak. Sementara kakakku sendiri lebih banyak diam dan kulihat dia bersembunyi di bawah kelambu sambil terisak.

Kami  berada di tempat dan masa yang salah. Tiba-tiba saja aku ingin menjadi bagian dari keluarga orang lain agar aku bisa menikah dengan Fuad. Kami memutuskan tidak akan mengalah dan dua puluh satu tahun yang lalu___kami lari, kami pergi jauh. Sampai hari ini, aku tidak tahu harus menyesali siapa selain adat itu. Tak ada yang ingin kukutuki selain adat istiadat itu.

    Kabar terakhir yang kudapatkan dari saudara sepupu yang juga menetap di Palu, Bapak makin sering sakit-sakitan dan berkali-kali dirawat di rumah sakit. Aku ingin sekali pulang mendengar berita itu, tapi butuh sekian hari, sekian minggu, dan sekian bulan untuk menguatkan hati dan merelakan harga diri terlepas dan egoku meluruh. Hingga hari ini aku telah sampai sejauh ini, membiarkan rasa rinduku berlari menuju Ibu dan Bapak.

Di pagi hari seperti ini, desa ini makin kelihatan menakjubkan. Daun-daun terlihat menghijau di pepohonan. Air bekas hujan di helaiannya jatuh setetes demi setetes ke tanah. Ditambah lagi pohon-pohon rambutan di halaman rumah warga tengah berbuah dan sudah mulai memerah merona. Memang benar pohon-pohon rindang di hutan dulu sudah banyak ditebang, tapi ketentramannya masih sejuk terasa. Embun dari kabut membuat kaca mobil menjadi buram, aku melapnya perlahan dengan ujung jari telunjukku hingga dinginnya merasuk sampai ke tulang-tulangku.

“Pak supir…, tolong diperlambat.” Aku mulai ragu. Kalau tidak salah dari sini hanya tinggal satu kilometer lagi dari rumah. Aku butuh kekuatan yang besar melebihi dari kapanpun selama hidupku. Suamiku hanya diam dan ikut menatapku ragu.

Aku tersenyum kecut, detakan jantungku makin jelas kudengar berdentum-dentum. Kepengecutanku tumbuh lagi sedikit demi sedikit. Tapi kali ini aku memaksanya untuk pergi. Kulihat suamiku pun demikian, urat-urat di punggung telapak tangannya tertarik kaku. Bola matanya gelisah. Dan beberapa kali menelan ludahnya untuk mengimbangi ketegangannya sehingga jakung di lehernya tampak naik turun. Kami tak saling bicara. Lantas kami memilih berkontemplasi dengan pikiran kami masing-masing.

Aku melirik jam tangan di pergelanganku, tepat pukul sepuluh pagi, aku telah duduk selama lima jam di dalam mobil. Panggulku sudah mulai keram dan mataku juga sudah lelah tidak tidur sedetikpun selama dalam perjalanan. Yuni kecil dengan kuncirnya yang mulai berantakan sudah mulai bergerak-gerak gelisah. Mungkin dia mulai merasa tak nyaman dengan pangkuanku yang sedikit-sedikit kugerakkan untuk memperbaiki posisi dudukku. Kelopak matanya perlahan membuka.

“Ibu…, rumah nenek sudah dekat belum?” tanyanya sedikit loyo
“Iya, sedikit lagi”
“Kado buat nenek yang aku bikin di rumah kemarin mana bu?”
“Ada di tas, nanti sampai baru di bongkar tasnya yah…”

Bola mata anakku berbinar-binar setelah aku bilang sedikit lagi sampai. Ia tidak pernah tahu kejadian di masa lalu itu. Ia hanya sibuk berkhayal tentang nenek yang hanya bisa kugambarkan dengan kata-kata selama ini. Dan ia tahu, sebentar lagi khayalannya akan berganti menjadi sebuah realita.

Rumah itu sudah nampak. Rumah yang dulu berdiri dengan tiang-tiang kayu yang kuat sudah berganti dengan rumah batu seperti rumah-rumah lain yang juga telah berubah. Rumah itu berada di sudut sebuah pertigaan. Dulu menghadap ke selatan, tapi kini berganti menghadap ke timur. Benar-benar bukan khayalan. Semuanya nyata tepat di depan mataku. Pohon ketapang di pertigaan itu masih ada, kurasa hanya itu satu-satunya yang tidak berubah sedikitpun selama dua puluh satu tahun.

Pak supir memelankan mobilnya sedikit demi sedikit dan mengeremnya perlahan. Mobil pun berhenti tepat di depan rumah itu, rumah kenanganku. Aku tak langsung turun, ku atur nafas dan meregangkan otot-otot ku. Suamiku menepuk pundakku dan mengusap ubun-ubunku. Aku merasa lebih tenang dengan usapan itu. Anakku tiba-tiba berhenti mengoceh dan juga ikut terdiam, menatap takzim ke arah rumah neneknya yang nyata.

Satu orang keluar terbirit-birit dari dalam rumah. Berselang beberapa detik menyusul satu orang lagi. Dan entah dalam hitungan detik keberapa, teras rumah sudah dipenuhi orang. Bukan dari luar rumah, melainkan dari dalam rumah. Tiba-tiba kakiku tak mampu digerakkan, tertahan oleh rasa takut yang menghantam hebat. Darahku pun terasa berhenti mengalir. Seketika aku tak peduli anakku yang ada di sampingku, pun suamiku. Satu-satunya yang ingin kulihat adalah Ibu dan Bapak. Ada apa di dalam rumah kenanganku ini?

Suamiku memutuskan membuka pintu mobil, kemudian menggendong anakku turun. Sementara aku? Aku tak bisa apa-apa, bahkan untuk mengubah posisi dudukku.

Tiba-tiba ku lihat seorang laki-laki dewasa berlari dari dalam rumah sambil berteriak, “Siapa?” Aku langsung mengenalinya, itu adikku yang dulu masih berusia sebelas tahun waktu aku meninggalkan rumah ini. Wajahnya telah mendewasa dengan rahang yang kokoh tapi matanya sama sekali tidak berubah. Rasa sesakku semakin terasa parah, tulang rusukku serasa menghimpit dan aku sulit bernafas. Ingin rasanya melompat dan memeluknya sambil berkata, “Ini aku Eda…, kakakmu”

“Turunlah.., ini tujuan kita”, suamiku berkata pelan, membujukku seperti membujuk anak kecil yang merasa takut luar bisaa.

Aku pun perlahan bergeser ke ujung kursi, ku pegang erat gagang pintu yang sudah membuka sejak tadi, mengumpulkan tenaga. Kubiarkan kaki kananku perlahan menyentuh tanah hingga beberapa detik kemudian aku sudah berdiri dengan dua kaki di atas tanah kelahiranku, tanah yang menyimpan jejak sejarahku. Ku beranikan diri menatap ke depan dan melangkah ke rumah kenanganku. Aku merasakan tangan kananku digapai oleh suamiku. Ia menggenggamnya erat, kutahu sesuatu…dia kembali mentransfer sejuta kekuatan untukku.

Semua orang tampak kebingungan dan mencoba menelanjangiku dengan tatapan tajam mereka.
“Bukankah itu Eda? Kakakmu Mail”. Seorang wanita paruh baya nampaknya telah berhasil mengenaliku, lantas adikku hanya menatapku dengan seribu tanda tanya, lalu segera beranjak ke dalam rumah. Tidak sampai satu menit, seorang laki-laki tua dengan sarung yang diselempang menutupi dadanya yang telanjang, berjalan cepat dari dalam rumah. Aku mengenalinya, dia adalah saudara bapak. Pamanku tepatnya.

“Mau apa kau ke sini? Berani-beraninya kau menginjak tanah ini lagi!” bentaknya sambil mengarahkan telunjuknya ke arahku.

Aku kaget dan nampaknya belum begitu siap dengan gempuran ini. Suamiku makin mencengkram tanganku erat. Sementara putri kecilku yang ada digendongan Ayahnya tampak ketakutan.

“Kenapa kau kembali, tidak ada lagi orang yang menunggumu di sini!” Lagi, serangan itu berlanjut.

Aku hanya berdiri dan diam terpaku di pijakanku. Hanya ada sekitar dua meter lagi dari teras rumah.
Dan seperti yang sudah kuduga sebelumnya, orang-orang sekampung telah memenuhi sekitar rumah kenanganku. Ingin menyaksikan pulangnya seorang pengecut yang sembunyi selama berpuluh tahun dengan membawa lari dosa-dosa dan meninggalkan duka di rumah ini.

Putriku pun mulai mengerang, ketakutannya pecah menjadi sebuah tangisan yang membuatku semakin shock. Aku menghancurkan rangkaian harapan putriku. Harusnya aku tak membawanya sekarang. Harusnya ia tidak perlu tahu tentang kepengecutan Ibunya sekarang. Lagi-lagi, semuanya berada di waktu yang salah seperti dua puluh satu tahun yang lalu.

Pamanku terus membentak tanpa ampun, sementara aku dan suamiku terus membatu di hadapannya. Seorang wanita tua berlari dari dalam rumah lagi. Kulitnya berkeriput kasar. Tubuhnya pendek hanya sedadaku. Rambutnya hampir putih seluruhnya. Aku hampir tidak percaya, aku melihat Ibu ku di detik ini. Ia tak ragu terus berlari terseok dan___ Pelukan ini sangat kurindukan Tuhan…. Momen itu terasa seperti slow motion, perlahan, dan bisa ku nikmati setiap inci kenikmatannya. Sungguh, ini nyata, aku menyentuh pundaknya yang sudah rapuh. Aku merasakan nafasnya yang berat dan tidak beraturan. Aku membaui aromanya yang tidak pernah kulupakan selama kepergianku. Aku merasakan air matanya yang tumpah membasahi dadaku. Aku merasakan tubuhnya yang lembek menyusup di rangkulanku dan tenggelam di dalamnya.

Wahai Ibu…, tak ada yang lebih kuinginkan di dunia ini selain bertemu denganmu. Aku mengingatimu setiap aku makan, sebelum aku tertidur, dan di segala momen dan tempat yang bisa memberiku stimulant untuk itu. Aku merindumu Ibu, rasaku telah berlari melalui segala keindahan di sepanjang jalan, tanpa jeda dan tanpa pedulikan semua itu, sebab kutahu, tak ada yang lebih indah jika rasa itu sampai tepat waktu….
Entah berapa menit aku menikmatinya sampai Ibu melepaskan diri dan menatapku lamat-lamat. Penuh hikmat. Ujung jariku mengusap air matanya yang bening. Tidak ada percakapan. Kami saling merasuki satu sama lain. Ibu dan anak yang terpisah selama dua puluh satu tahun mencoba mengurai kata yang tak terucap. Namun aku mengerti semua kata itu. Aku mengerti bahasa hatinya. Begitu pun dirinya. Aku dan Ibu sedang menikmati kesempurnaan pertemuan rasa rindu kami, hingga rasanya hanya kami berdua saat ini.

 Tangisan putriku telah terhenti dan neneknya menyentuh pipinya. Aku merasakan kedamaian yang dirasa oleh putriku, kerinduan pada nenek yang sebelumnya tak pernah ditemuinya. Rasanya juga akhirnya telah sampai tepat waktu, nikmatilah putriku sayang__

Aku tidak peduli lagi dengan orang-orang di sekitar. Juga termasuk paman tuaku yang telah menghentikan serangannya. Mungkin karena ia takjub melihat adegan yang baru saja terjadi di depan matanya.

Ibu masih terisak sesekali dan meraih tanganku, menarikku ke dalam rumah. “Masuklah nak…, Bapakmu menunggumu di dalam” ia berkatah lirih dengan suara yang bergetar.

Ibu berhenti di depan sebuah kamar. Samar-samar dari balik gorden tipis tampak beberapa orang yang membaca Yasin. Ada rasa was-was untuk masuk ke sana, aku tahu apa yang terjadi di dalam sana. Bapakku…, ujung mataku kembali basah dan seketika tumpah seperti air bah. Ibu menarikku masuk. Dan di depan mataku terbaring seorang lelaki tua yang renta. Bukan lagi Bapak seperti dua puluh satu tahun yang lalu. Bukan lagi Bapak yang penuh wibawa. Pundak yang dulu tegap kini tampak kurus hingga persendiannya tampak menonjol. Harus kuterima kenyataan, Bapakku sedang sekarat. Suami kak Murni yang tak lain adalah kakak kandung suamiku terus membaca syahadat dan mengusap ubun-ubun Bapak yang di tidurkan di atas pahanya. Bapak terlihat lelah menarik nafasnya hembusan demi hembusan.

Aku terisak sampai tersengal tidak keruan. Ku tekan dadaku. Aku tertelungkup di bawah kaki Bapak. Aku meraih kakinya. Dingin. Aku membaca “La…Ilaha Illallah…” tak henti-hentinya. Beberapa menit kemudian Bapak pun menghembuskan nafas terakhirnya. Aku memeluknya yang terbaring tak bernyawa. Kak Murni mengusap punggungku dan menarikku. Ia memelukku. Kami sama-sama kehilangan hari ini. Hari dimana aku kembali untuk meluruskan yang bengkok. Hari dimana aku datang dengan segala kepasrahanku.

Bapak…, maafkan atas segala kekecewaan yang kutorehkan hingga berbekas di hatimu selama ini. Aku sangat merindukanmu. Rasaku berlari sejauh ini untuk menggapaimu dan akhirnya aku bisa sampai tepat waktu sebelum kau pergi. Tuhan…, terimakasih sudah memberi Bapak kesempatan untuk menungguku dan terimakasih sudah memberi rasa rinduku kesempatan untuk sampai tepat waktu.

    Hari-hari yang hening kulewati di rumah kenanganku setelah kepergian Bapak. Duka masih menggelayut di langit-langit rumah dan masih menyisakan penyesalan bagiku karena menunda kepulanganku selama bertahun-tahun.  Tak ada yang banyak menanyaiku. Juga tak ada yang berusaha mengorek-ngorek masa lalu itu. Bahkan kak Murni sekali pun. Entah karena mereka masih belum sempat karena kedukaan mereka atau karena mereka telah berkeputusan melupakan semuanya dan menerima si pengecut ini dengan tangan terbuka. Tapi kulihat mata mereka masih menyimpan sejuta tanda tanya dan mereka masih kaku memperlakukanku.

Kubiarkan semuanya berjalan sealami mungkin. Aku tak ingin memaksakan tapi juga tak ingin pergi begitu saja tanpa meluruskan semuanya. Kuputuskan untuk menunggu sampai keadaan menjadi normal. Apalagi putriku terlihat sangat suka dimanjakan oleh neneknya. Hanya Yuni kecil lah yang bisa menikmati semuanya tanpa beban. Putri kecil yang bersih tanpa noda kepengecutan Ibunya.

Malam ini, menu santap malam dihidangkan rapi dan sederhana di atas karpet di ruang tengah. Sebakul nasi yang mengepul karena panas. Semangkuk sayur kangkung. Ikan bakar dengan sambal terasi. Juga semangkuk petai yang sudah ditumis oleh kak Murni. Kami berkumpul membentuk lingkaran, duduk bersila, dan siap menyantap menunya. Anak gadis kak Murni menyiapkan semuanya dengan sempurna.

“Anakmu sudah berapa Eda?” tanya kak Murni dengan nada ragu. Aku tahu ia ingin mencairkan suasana yang beku berhari-hari sejak kedatanganku.
“Sudah tiga, yang paling tua gadis dan sudah SMA kelas tiga dan yang ke dua laki-laki sudah SMA kelas satu. Saya kira dulu sudah tidak bisa punya anak loh karena umur, tapi Tuhan mengejutkan saya dengan adanya Yuni diperut. Hahahaha…”, jawabku diselingi canda, aku menyeimbangi usaha kak Murni. Itu adalah segenap usahaku.

Semuanya ikut tertawa. Ada yang tertawa sedikit memaksa. Ada juga yang sudah bisa tertawa lepas.
“Kamu ini bisa saja”, ibu menimpali dengan senyum tulusnya.
“Kak Fuad kerja apa di Palu?” tanya Mail, adikku.
“Dagang bahan bangunan, itu butuh bertahun-tahun mencari modal sampai bisa bikin toko. Tapi si Eda ini jago mengkalkulasi. Istri yang hebat!” jawab suamiku tak ragu sedikitpun.
“Lain waktu, kau bawalah anak-anakmu yang dua itu”, kata Ibu sambil menuang air minum ke dalam gelas bening yang ada di sampingnya.
“Kalau si Mail ini menikah baru aku bawa semuanya”, candaku kembali.
Mail tersipu malu mendengar ocehan kakaknya yang cerewet ini. Ibu lalu cepat menimpali, “Dia tidak mau tunjuk perempuan mana yang dia suka, padahal sudah Ibu suruh berkali-kali. Umur adikmu ini sudah jalan tiga puluh tiga tahun tapi masih bujang”
“Awas loh, nanti kamu jadi bujang lapuk”, kataku bermaksud memancing. Memancingnya cepat-cepat mencari jodohnya.

Tawa makin bergemuruh malam itu dan aku cukup bahagia. Aku bahagia dengan penerimaan mereka.
Ini sudah minggu ke duaku di sini. Dan hari ini hari keberangkatanku pergi. Meninggalkan kembali Ibu dan saudara-saudaraku. Meninggalkan rumah kenanganku. Meninggalkan tanah kelahiranku. Tapi kali ini berbeda dengan dua puluh satu tahun silam. Kali ini tak berbeban. Aku sudah jadi mantan pengecut sekarang. Tinggal mantan. Hanya pernah jadi pengecut dan kini tak lagi. Meskipun dosaku mungkin tak tertebus seluruhnya, tapi aku sudah cukup lega. Kini aku mencintai segala momen di tanah kelahiranku dan tak lagi mengutuki segalanya.

Ketika aku bertanya pada kak Murni kenapa ia bisa menerimaku padahal aku telah melakukan kesalahan yang tak termaafkan? Kak Murni berkata, "Bukankah Keluarga memang harusnya bersama seperti ini? Mana mungkin kau tidak diterima kembali sementara ini adalah rumahmu, bukankah pemilik rumah memang harus kembali pulang ke rumahnya?"

HMJ Manajemen Ekonomi adakan Dialog Kartini

suasana saat dialog
Washilah Online--Puluhan mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum (FSH) Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin berkerumun di pelataran gedung M, bukan untuk melakukan keributan, tapi sekedar menyaksikan Orator-orator dari kaum Hawa. Senin (23/04/13)

Selain Orasi yang dilakukan oleh kaum hawa, kegiatan yang dihelat oleh himpunan mahasiswa jurusan Manajemen Ekonomi FSH ini juga dirangkaikan dengan Dialog hari kartini.

Menurut Sartika Nur Shalati, Kordinator bidang pemberdayaan perempuan HMJ Manajemen ekonomi, Lomba orasi khusus perempuan dan dialog hari kartini ini bertujuan untuk menciptakan sosok Kartini baru. “semoga dalam kegiatan ini dapat memunculkan sosok-sosok Kartini baru” harapnya.

Hal senada diutarakan pula ketua HMJ Manajemen ekonomi Muh. Aliyafid S, yang berharap, supaya wanita-wanita menjadi sosok seperti R.A. Kartini “bisa memperjuangkan emansipasi wanita” ungkapnya.

Reporter : Muhammad Yunus

Surat Dari Delia

Gambar Ilustrasi
Oleh : Nurul Suciana Adam
Suara bantingan piring-piring dapur menjadi musik instrument Delia di pagi yang masih buta itu. Setiap pagi, Delia harus menyiapkan secangkir kopi di balai-balai depan rumahnya yang hampir serupa dengan gubuk itu. Delia kini hidup sebagai anak piatu. Ibunya meninggal dunia ketika ia masih berusia 6 tahun. Satu-satunya keluarga yang ia miliki saat ini ialah sang ayah. Ayahnya seorang pengangguran setelah dikenai Pemutusan Hubungan Kerja ( PHK ) oleh salah satu perusahaan swasta di Jakarta. Diusianya sekarang ini yang masih tergolong belia tak sepantasnya memiliki kehidupan yang keras. Dimana ia harus menerima kewajibannya untuk belajar dengan layak dan berhak menikmati usianya yang penuh warna-warni.
“Delia!!!”
Sahutan sang ayah yang sedari tadi menunggu kopi dari Delia.
Bergegas Delia menuju teras dan menyuguhkan secangkir kopi untuk ayahnya. Sikap sang ayah pada Delia sangat keras. Terkadang ada luka lebam di lengannya, di kakinya, maupun di punggungnya. Tapi satu hal yang Delia syukuri bahwa ia masih diizinkan untuk ikut belajar di rumah belajar Home Care. Tempat itu merupakan tempat belajar Delia dan teman-temannya, anak jalanan maupun penghuni pinggiran rel kereta yang kurang mendapat sorotan dari pemerintah. Ia juga bersyukur masih ada orang yang mampu meluangkan waktunya demi mengajar mereka tanpa balasan apapun. 

Di rumah Home Care di kelola oleh para mahasiswa-mahasiswa yang peduli akan pendidikan untuk anak jalanan sekaligus mereka mengadakan sebuah penelitian tentang kehidupan keras anak belia penghuni rel. Walaupun kondisi rumah itu sudah sangat lapuk.

Sinar matahari pagi menyelinap masuk melalui cela-cela dinding kayu bekas gigitan rayap. Sepatu reok dengan jahitan dimana-mana ia pakai menuju Home Care. Sepatu yang ia dapat dari tempat mulungnya. Pakaian kusamnya menjadi saksi bisu akan semangat Delia untuk meraih apa yang ia cita-citakan.
 Delia pamit kepada ayahnya.

“Mm...pulang jangan sore.”  Gerutu sang ayah yang sedari tadi hanya duduk santai di atas balai-balai sambil menikmati kopi dan isapan rokok batang demi batang hingga habislah dalam bungkusan terlihat dari tubuhnya yang kurus akibat rokok.

Delia membuka buku catatannya. Kali ini rumah Home Care terlihat sepi dari biasanya. Hanya ada sekitar 20 anak-anak yang hadir dan 4 orang mahasiswa sebagai pengajar relawan. Di tengah-tengah suasana belajar mereka, ayah Delia datang dan memaksanya untuk pulang. Delia meronta tak ingin pulang. Pengajar yang ada di ruangan itu hanya menatapnya karena mengira bahwa ayah Delia sedang mabuk. Putra sebagai perwakilan mencoba berbicara tetapi pada ayah Delia tetapi Putra di balas dengan dorongan hingga tangannya terluka. Delia akhirnya pulang. Putra memandangi kepergian gadis belia tersebut.

“Her...gue punya bisnis ama loe. Loe mau nggak jadiin anak loe pembantu di rumah gue. Gue liat-liat anak loe disiplin dan rajin.” Kata Rosma di depan Herman ayah Delia. Rosma didampingi oleh dua orang lelaki bengis, hitam dan berkumis lebat yang setia setiap saat. Delia ketakutan melihatnya namun tak berani memandang mereka.

“Loe..mau gaji anak gue berapa, Ros?” Herman mulai terbujuk akan tawaran Rosma. Tanpa pikir panjang Rosma menjawab langsung pertanyaan Herman. Rosma juga sudah tahu siasat Herman bila anaknya itu ladang emas sehingga ia ingin mematok harga tinggi.

“Gue mau dia kerja ama gue 22 jam. Gue gaji dia 2 juta per bulan.” Balas Rosma. Mendengar perkataan itu, Herman setuju tapa melakukan negoisasi.

Delia terkejut mendengarnya. Ia tak ingin berpisah dengan ayahnya meskipun tiap kali ia mendapat perlakuan tidak baik pada ayahnya tapi dia sangat sayang padanya. Delia teringat pada kata-kata ibunya ketika mereka masih hidup serba berkecukupan. Delia pada saat itu bertanya pada ibunya mengapa ayah begitu tegas padanya.
Ayah memang orangnya keras dan tegas tetapi maksud dari itu, ia tak ingin melihat seseorang didekatnya tampak lemah dan lembek. Ingatlah Delia! Seekor harimau buas tak akan pernah memakan anaknya sendiri meskipun perutnya sudah perih ingin menyantap daging.

Delia berpikir positif akan realita yang ia perankan saat ini. Dia tak akan pernah mengeluh pada Dzat yang telah menciptakannya karena ia yakin bahwa disetiap tangis dan sedih akan ada sinar-binar bahagia yang mengikutinya. Orang-orang akan berpikir bahwa Delia itu lemah karena masih belia, tetapi karena pikiran dan situasi lingkungan yang membuatnya seperti itu maka pikirannya sudah sama seperti pikiran orang dewasa.

Delia naik ke atas mobil Rosma didampingi oleh kedua pria bertampan bengis itu. Di balik jendela mobil ia menangis melihat ayahnya. Ia tidak bersedih karena takut, tetapi ia sedih karena meninggalkan ayahnya seorang diri. Tak ada yang akan membuatkannya kopi setiap pagi. Herman keasyikan menghitung lembar demi lembar uang lima puluh ribuan. Di sisi lain, Putra menyaksikan hal itu. Ia simpatik pada Delia ketika ia melihat gadis manis nan malang itu diseret paksa oleh ayahnya.

Di rumah Rosma, Delia mendapatkan perlakuan sangat istimewa. Sesekali Delia bertanya kapan mulai bekerja tetapi pertanyaan-pertanyaannya melayang ke udara tanpa jawaban. Herman menikmati hasil gaji Delia beberapa bulan. Bukannya memperbaiki rumah ataupun merawat dirinya atau menabung untuk sekolah Delia, ia menghabiskan uang itu untuk mabuk, rokok, judi. Ayahnya bukan ayah yang dia kenal dulu.
Malam hening di kamar Putra. Tak tahu kenapa pikiran Putra terus tertuju pada Delia.

“Sepertinya Delia bisa aku jadikan tokoh dalam hasil penelitianku. Aku nggak tahu sosok anak itu sangat mendukung tugas akhirku. Aku yakin. Tapi, apa yang terjadi pada anak itu, padahal ia di bawa pergi oleh seorang wanita tanpa isak tangis. Pasrah ajja.” Pikir Putra yang sedari tadi membolak-balikkan badannya di atas ranjangnya. Selang beberapa waktu matanya mulai terpejam dan hanyut dalam untaian lelap malam itu.
“Deliaa....!!!” teriak Putra. Sontak ia terbangun dan merekam kembali mimpi itu.

Secarik kertas putih ia terima dari Delia. Delia bersama seorang wanita tersenyum indah kepada Putra. Putra bertanya akan sosok mereka tetapi mereka hanya tersenyum dan pergi. Dalam kertas itu tetulis :  Esok hari apakah aku masih ada untukmu? Takdirmu yang akan mengubah takdirku. Keluarkan aku atas izin Allah.
Kata-kata itu teringat jelas dalam pikiran Putra. Segera ia menulis penelitiannya. Merumuskan masalah, membuat objeknya, dan sebagainya. Mimpi itu memaksa Putra untuk tidak tidur.

Delia mulai tidak sanggup tinggal di rumah Rosma. Bukan karena ia mendapatkan perlakuan tidak baik tetapi ia terbayang terus akan ayahnya. Telah tiga bulan ia tak pernah menemui ayahnya. Hingga suatu hari Delia mendapat kabar bahwa ayahnya terkena tuberkulosis atau TBC. Tiap malam ayahnya muntah darah dan berkeringat dingin. Ia meminta kepada Rosma untuk menjenguk Herman meski hanya sedetik. Permintaannya dipenuhi dengan syarat kedua pria bengis itu harus mendampinginya.

“Boss....gue punya stok baru nih. Masih belia, cantik dan sangat menawan. Gue pasang harga 200 juta. Kalau boss setuju, gue urus dia untuk jadi TKW di Taiwan.” Rosma melanggar perjanjiannya pada Herman. Tetapi Delia segera tahu akan hal itu.

Delia pulang ke rumahnya menemui ayahnya. Dan menceritakan apa yang telah ia dengar. Putra menyusup di balik semak-semak rumah Delia. Delia menangisi kondisi ayahnya. Dulu saat mendapat perlakuan kasar dari ayahnya, dia tak akan menangis ataupun melawan tetapi saat ini segala emosi dalam dirinya ia keluarkan dalam tangisannya. Ayah Delia mengusap air mata anak satu-satunya itu. Ayahnya menyesal telah berbuat demikian pada Delia. Ia telah mendzalimi dirinya dan anugrah dari Allah. Kini ia tak mampu berbuat apa-apa untuk Delia selain terbaring lemas tak berdaya. Tetapi semangat untuk menyelamatkan Delia masih ada dalam jiwa sang Ayah.

Tak ada yang mampu mengubah masa lalu, Herman. Tetapi kamu dapat merusak masa depannya  dengan menangisi masa lalu dan merisaukan masa depan. Batinnya tiba-tiba menggerutu. Ia tidak akan menangis di depan Delia.

Delia kembali pergi bersama kedua pria bengis itu. Putra mengikuti dari belakang untuk memastikan tempat tinggal Delia. Putra kewalahan mengejar mobil yang membawa Delia hingga tibalah ia di suatu tempat yang sangat sulit di jangkau. Delia mengira bahwa ia akan kembali ke rumah Rosma sehingga rencana yang ia susun dalam pikirannya tak berjalan. Bahkan kakinya baru saja menapaki tempat sangat asing itu. Delia diguyuri rasa ketakutan yang tinggi. Aku masih kecil, aku masih belia, aku tak tahu apa-apa.

Delia menatap bintang-bintang, menghitung dan mengenang ibunya. Ia sangat takut, sesekali air matanya menetes. Entah ia masih bertahan dalam realita yang ia perankan dari skenario pencipta-Nya. Ia mengambil sebuah kertas dan menulis : Esok hari apakah aku masih ada untukmu? Takdirmu yang akan mengubah takdirku. Keluarkan aku atas izin Allah. Delia... Ia kemudian melipat kertas itu membentuk pesawat kertas lalu ia tiup di ujungnya dan menyebut Asma Allah berharap akan ada yang dapat membantunya. Hembusan angin malam mengantarkan surat Delia kemana saja. Tersangkut di atas pohon dan terhempas dan terhempas dan terhempas lagi hingga tiba di balkon kamar Putra. Putra terbesit mendengar ketukan lemah kertas itu. Membuka jendela. Menatap ke segala arah hingga matanya tertuju pada pesawat kertas Delia.

Putra kembali ke rumah Delia. Putra terkejut melihat ayah Delia tersungkur. Segera ia membawa ayah Delia ke rumah sakit agar segera mendapatkan pengobatan. Setelah mendapat pengobatan, ayah Delia didiagnosa  terjangkit kanker paru-paru. Paru-paru kirinya sudah tak berfungsi dengan baik. Putra terkejut akan hal itu.
 “Bagaimana aku bisa merencanakan untuk menyelamatkan Delia sedangkan ayahnya terbaring lemah disini. Dan akupun membutuhkan tenaga ayahnya.” Putra membatin.

Sesaat lagi Delia akan dikirim ke Taiwan menjadi TKW tetapi berstatus illegal mengingat Delia masih berumur 12 tahun. Pikiran Delia berputar untuk tidak dikirim menjadi TKW. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa. Ada 10 pria bertampan bengis yang berjaga-jaga disetiap sudut ruangan. Putra menyamar sebagai penjemput Delisa untuk dibawa ke Taiwan. Alhamdulillah...rencana berjalan lancar. Tetapi sebelum mereka pergi, siasat Putra tercium oleh salah satu pria bengis itu. Adu balap pun terjadi disepanjang jalan. Untuk Putra mantan seorang pembalap liar demi meraih uang untuk membayar SPP dulu.

“Kakak ini siapa? Kalau kakak berniat untuk membawaku ke Taiwan bawalah aku yang terpenting sebelum aku ke sana izinkan aku melihat ayahku.” Pinta Delia.

Putra membawa Delia ke rumah sakit. Delia bertanya-tanya mengapa Putra membawanya ke tempat yang dihuni oleh kebanyakan orang-orang kesehatannya bermasalah.

“Kakak belum menjawab pertanyaanku. Bukankah aku harus ke bandara lalu ke Taiwan untuk jadi TKW. Aku memilih pergi ke Taiwan demi ayah Delia, karena mungkin disanalah takdir Delia untuk membuat kehidupan Delia dan Ayah membaik dan Ayah kembali sehat seperti dulu.” Kata Delia.

Putra menatap pandangan polos Delia. Duduk didepan Delia yang tengah berdiri memandang kagum bangunan mewah yang ada di depannya. Dengan memegang lembut kedua tangan Delia, Putra berkata :
“Jadi TKW itu memang baik, tetapi umurmu belum cukup adik manis. Taiwan itu negara yang jauh belum bisa dibiarkan pergi sendiri tanpa seorang ayah. Bukankan kamu yang inginkan untuk bertemu dengan ayahmu sebelum berangkat?”

Keduanya masuk ke rumah sakit menuju kamar ayah Delia dirawat. Delia sudah tidak sabar lagi melihat ayahnya. Ia membayangkan bahwa ayahnya sudah sangat sehat karena berada dirumah sakit mewah. Tetapi kenyataan yang ia melihat sosok manusia ditutupi kain kafan. (*)

*Penulis Adalah Mahasiswa
Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris semester II
Pada Fakultas Tarbiyah dan Keguruan, UIN Alauddin


HMJ-Tafsir Hadis adakan Rihlah Ilmiyah ke Jamaah An-Nadzir.

suasana saat penyerahan cindera mata.
Washilah Online—Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Tafsir Hadis gelar Rihlah Ilmiyah ke Jamaah An-nadzir yang terletak di daerah Mawang kabupaten Gowa dengan mengangkat tema "Mengenal Lebih Dekat Jamaah An-Nadzir". Sabtu (20/04/13)

Selain maksud untuk merealisasikan salah satu program HMJ, kegiatan ini juga dijadikan sebagai ajang untuk saling tukar pikiran dan juga untuk mempererat tali silaturrahmi

Dalam kesempatan tersebut Daeng Rangka, pimpinan jamaah an-Nadzir, menyempatkan diri untuk menjelaskan seperti apa Jemaah yang kini ia pimpin "An-Nadzir bukan Syiah dan juga bukan Sunni, kami ini hanya ummat Rasulullah SAW yang mana seluruh kegiatan kami hanyalah dilandsi oleh amalan Rasulullah,” jelasnya.

“olehnya itu meskipun banyak yang tidak menginginkan keberadaan kami, jamaah an-Nadzir tidak akan pernah bisa dibubarkan, karena kami ini tidak Sesat" tambahnya. Selain itu, mereka juga membahas masalah shalat dalam jemaahnya, sejarah berdirinya, serta masalah akhir zaman.

Dikesempatan yang sama, Ketua HMJ Tafsir Hadis, Radhie Munadi, mengungkapkan rasa terima kasih yang besar kepada Jemaah An-nadzir, atas kesediaannya menerima kunjungan HMJ "kami sangat berterima kasih kepada pimpinan jamaah an-Nadzir karena telah menerima kami disini dan kehadiran kami disini tidak lain hanyalah ingin mencari ilmu dan saling tukar pikiran," terangnya.


Redaksi


Antusias. beberapa anggota UKM Pramuka UIN Alauddin tampak bersemangat mengikuti Senam mingguan. Sabtu(20/04/13).(Alfath)

Senin, 22 April 2013

Mahasiswa Jurnalistik Kuliah Di PWI

Washilah Online – Mahasiswa Jurnalistik semester VI Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar kunjungan ke kantor Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Provinsi Sulawesi Selatan, Kamis(18/04/2013).

Kunjungan ini sengaja dilaksanakan di kantor PWI untuk mengetahui lebih banyak tentang salah satu organisasi wartawan cabang Sul-Sel itu.

Dalam kunjungan ini disambut langsung Wakil Ketua Bidang Organisasi PWI, Hasan Kuba dan pengurus PWI yang juga Dosen FDK, Asnawin.

Hasan menjelaskan PWI merupakan satu dari tiga organisasi wartawan yang diakui Dewan Pers.

“Jadi selain PWI, dua organisasi lainnya yakni Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI),” ungkapnya.

Kunjungan inipun diapresiasi Mahasiswa Jurnalistik. Seperti diungkapkan Putri. “ Kami sangat mengapresiasi kunjungan seperti ini, sebagai bentuk perkenalan jurusan Jurnalistik ke organisasi wartawan seperti PWI,” tuturnya.(*)

Reporter : Rahmawati

Krisis Identitas

Oleh Ardiansyah
Malam yang sunyi senyap, jiwaku tidak tenang. Kupandangi langit dari jendela. Menatap bintang di angkasa. Hati kecilku pun bertanya,” Apa Bedanya Mahasiswa Sekarang Dengan Mahasiswa Di Era Kekinian?” untuk menjawab pertanyaan itu, segera kuambil Note Book yang tergeletak di dalam kamar. Saya teringat ketika masih magan di UKM LIMA Washilah. Seniorku memutarkan film Soe Hok Gie, yang dirilis oleh Riri Riza.

Film ini diangakat dari catatan harian Soe Hok Gie. Dia adalah seorang pemuda Indonesia keturunan Cina yang tumbuh besar pada masa pergolakan di asia pasifik. Waktu Sekolah Dasar (SD) dia bersekolah di Sinwa dan melanjutkan pendidikan Sekolah menengan pertama di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Strada.

Suatu ketika, Gie mengikuti pelajaran di sekolah. Dalam diskusi tersebut Gie berkata,” Bukankah Ada Perbedaan Antara Pengaran Dan Penerjemah?” gurunya pun menjawab,” Pengaran Itu Sama Dengan Penerjemah Karena Pengarangnya Disisni Tidak Dikenal”. Gurunya berangapan Chairil seorang pengarang. Namun Gie menolak dan berkata,” Chairil Adalah Seorang Penerjemah Dan Pengarang  Aslinya Adalah Andre  Gide.” Sang guru tetap pada penadapatnya yang mengatakan Chairil adalah seorang pengarang.
Diskusi itu semakin memanas. Gie tetap mempertahankan pendapatnya dan melawan argumentasi gurunya. Karena melawan argumentasi gurunya di dihukum, dijemur berdiri di lapangan. Nilai ulangannya delapan tapi gurunya menguranginya tiga.

Melihat kejadian itu, temannya yang bernama Hang berkata,” Gie, Napa Lho Mau Mealawan Trus, Sebenarnya Nilaimu Tidak Jelek-Jelek Amat, Jelekan Nilai Gue”. Dengan cepat Gie menjawab, “ kita gak mungkin bisa bebas seperti ini jika kita tiadak melawan. Soekarno, hatta shahrir, mereka berani mamberontak dan melawan. Berani melawan kesewenang-wenangan”.

Akibat terhadap kritikan terhadap gurunya, nilainya rendah dan dia dipanggil mengahadap ke Kepala Sekolah. Dia disuruh minta maaf kepada gurunya. Akan tetapi dia mengelak dan berkata,” Saya Lebih Pintar Daripada Teman-Teman Dikelas” Ia Menambahkan,” Asep, Nilainya Tinggi Itu Kerena Dia Keponakan Bapak “.

“Memang Demikin Kalau Guru Yang Tidak Pandai, Tidak Akan Tahan Denga Kritkan. Guru Yang Tidak Tahan Dengan Kritikan Boleh Masuk Keranjang Sampah. Guru Bukanlah Dewa Dan Selamanya Benar Dan Murid Bukanlah Kerbau.” Tambahnya.

Gie adalah sosok pelajar yang cerdas. Dia rela pindah sekolah karena nilainya ditahan dan mencari sekolah yang lain. Hari-harinya dihabiskan dengan membaca dan menulis. Dia Sangat resah melihat fenomena sosial ketika itu. Rakyat semakin menderita akibat ulah para koruptor-koruptor. Yang dulunya mereka yang memperjuangkan bangsa Indonesia.

Usai tamat di Sekolah Menengah Atas (SMA) Katolik. Dia melanjutkan pendidikannya diperguruan tinggi. semangat belajarnya tidak pernah surut. Bahkan dia mengadakan forum-forum kajian. Hari-harinya diperguaruan tinggi dia habiskan dengan diskusi, bedah film dan menulis.

Selain belajar, dia hobi naik gunung. Dia sosok mahasiswa yang akademis, tidak tergabung dalam orgaisasi. Pada saat itu politik kampus  dan golonagn telah masuk kampus, oraganisasi besar seperti Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) hingga yang terkecil Persatuan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI). Bergerak, berteriak atas nama golongan. Demi merebut kekuasan di senat. Mereka sering megambil keputusan yang tidak mempunyai arti politis yang selalu tidak brdasarkan atas prinsip-prinsip yang dewasa.

“ Mereka Harus Berani Mengatakan Benar Sebagai  Kebenaran Dan Mengatakan Salah Sebagai Kesasalahan” ia menegaskan,” dan tidak menerapkan kebenaran atas nama agama, organisasi masyarakat atau apapun” ujar Gie..Kampus saat itu sedang memanas. Semua lemabaga organisasi melakukan konsolidasi untuk menduduki senat. Yang pada akhirnya senat diduduki oleh Herman Lantang, teman Gie.
Pada masa itu Negara berkecamuk. Negara masih jauh dari tujuan.. Diktator perseorangan dan golongan yang berkuasa bukan lagi diambang pintu tapi sudah menjadi suatu kenyataan. Cara-cara kebijaksanaan Negara dan pemerintahan bukan saja bertentangan dengan asas-asas kerakyatan dan hikma musyawarah bahkan menindas dan memperkosanya. Istilah demokrasi  terpimpin hanya dijadika topeng belaka, justru akan menindas asas-asas demokrasi itu sendiri.sehingga dia membuat gerakan di  Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) untuk melakukan revolusi.

Politik kampus semakin kacau dikarenakan salah satu lembaga oraganisasi merasa didiskriminasi dalam senat. Poster-poster GMNI itu disobek. Mahasiswa yang tergabung dalam lembaga tersebut merasa keberatan dan ingin membubarkan senat.

Bukan hanya dikampus terjadi kekacauan akan tetapi di bumi Indonesia pun terjadi banyak ketimpangan. Melihat kondisi bangsa yang banyak penyelewenang dan ketidakadilan menbuat Soe Hok Gie tidak tenang dan menginginkan perubahan.

Salah satu bentuk gerakan yang dia buat untuk menentang pemerintahan Soekarno yaitu mengkritik melalui tulisan. Tulisannnya banyak di muat di Koran. Akibat dari tulisannya dia disisihkan bahkan tulisannya ditolak di percetakan.

Pada tahun 1966, pemerintah melakukan perubahan parlemen. Anggota-anggota yang pro-Soekarno dan pro-Komunis diganti. Dan kini terdapat 13 tokoh mahasiswa yang tergabung dalam parlemen. Bahkan di kabarkan mereka banyak yang memperkaya diri dengan cara yang tidak halal.

Ketika selesai menyandang mahasiswa. Teman-teman seperjuangannya kala menjadi aktisvis, kini  sudah terpisah. Fakultas Sastra Universitas Islam kala itu, banya mengalami perubahan. Dosen-dosen  tidak lagi mempunyai dedikasi dalam pekerjaannya. Dan membuat mahasiswa tak kalah malasnya.

Di kekinaian, masi adakah sosok mahasiswa yang seperti Soe Hok Gie. Berani mengkritik gurunya ketika salah. Mahasiswa dikekinian semakin dikungkung oleh dosen. Ketika dikritik akan berpengaru terhadap nilai yang akibatnya lambat selesai.

Pun saya pernah alami ketika semester satu. Kami berdiskusi dengan salah satu dosen. Kala itu, diskusi semakin alot. Sang dosen tidak mau menerima argumen kami sehingga mengusirs salah satu teman dari kami dari ruangan.

 Bedah halnya ketika kami semester lima. Mata kulia yang seharusnya 14 -16 kali pertemuan namun di percepat. Satu kali pertemuan dianggap tiga kali absen. Bahkan parahnya lagi ada salah satu mata kulia kami yang seharusnya 14 kali pertemuan. Namun baru lima kali pertemuan langsung final. Entah karena alasan apa sehingga dosen tersebut jarang masuk. Ini bukti bahwa sebagian dosen tidak mempunyai dedikasi dalam pekerjaannya. Mahasiswa yang malas kekampus melihat kondisi tersebut membuatnya semakin malas. Haruskan dosen seperti ini dipertahankan di kampus?

Mahasiswa pada zaman Soe Hok Gie, hari-harinya diisi dengan budaya-budaya diskusi dan membuat tulisan. Namun di kekinian, budaya diskusi semakin terkikis. Hanya segelintir orang yang membudayakannya. Budaya diskusi atau  yang kerap di kenal yaitu budaya kajian kini beralih kepada budaya online. Untunglah kalau berdidkusi di dunia maya. Akan tetapi, kebayakan diantara kita hanya curhat di dunia maya utamanya Face Book.  Tiap hari bahkan tiap lima menit hanya memasang status galau.

Di pelataran kampus, jarang kita mendapakan mahasiswa yang membaca buku utamanya berdiskusi tentang keilmuan. Organisasi intra maupun ekstra yang seharusnya mempunyai peran penting dalam proses pencerdasan, kini beralih fungsi sebagai lembaga mobilisasi massa untuk pemilihan di Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) maupun Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM). Mahasiswa dikekinian semakin krisis dengan identitas.

Soe Hok Gie mampu menggoncang pemerintahan Soekarno kala itu hanya dengan tulisan. Saat ini kita jarang lagi menemukan mahasiswa yang produktif. Jangankan menulis, baca buku pun kita jarang menemukan di kampus. Jiwa-jiwa kritis pun semakin hilang.
Makassar, sabtu 19-01-2013

*Penulis Adalah Mantan Ketua Umum HMJ-Perbandingan Agama Periode 2011-2012

KAMMI UIN Alauddin Adakan Training Wirausaha Nasional

suasana saat Training berlangsung
Washilah online- Perekonomian bangsa Indonesia sudah sekian lama dikuasai oleh bangsa asing, mereka yang datang ke Indonesia telah menguasai pasaran lokal, sehingga masyarakat indonesia semakin terpuruk dalam perekonomian, dan untuk membangunnya kembali, harus dimulai dari karakter bangsa itu sendiri. Hal ini diungkapkan Aswandi As’an dalam kegiatan Training Wirausaha Nasional. Sabtu (20/04/2013).

Kegiatan yang dihelat oleh Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Komisariat Universitas Islam Negeri(UIN) Alauddin bekerja sama dengan Social Service Centre (SSC) KAMMI daerah Makassar dan Lembaga dakwah Fakultas (LDF) Sains dan Teknologi ini mengangkat tema “Gerakan Beli Indonesia”.

Aswandi As’an yang juga pengurus pusat Gerakan Beli Indonesia ini mengungkapkan bahwa Ketika seseorang paham tentang ekonomi maka dia akan paham apa yang harus dilakukan untuk membangun ekonomi bangsa.
Gerakan Beli Indonesia, Lanjut As’an, adalah gerakan yang mengajak semua kalangan masyarakat Indonesia untuk membela bangsa sendiri “ada tiga sikap perjuangan yang harus dimiliki orang indonesia yaitu membeli produk Indonesia, membela bangsa Indonesian dan menghidupkan semangat persaudaraan, dan mahsiswa UIN harus tau itu,” ujar pria yang juga mantan jurnalis disalah satu media nasional ini.

Sekitar tiga ratus orang peserta yang terdiri dari kalangan mahasiswa sangat antusias mengikuti training enterpreneur ini, pemateri pun memberikan sesi diskusi dan trik trik menjadi pengusaha sukses yang paham ekonomi.

Reporter : Ismail

HMJ Biologi Sains Akan gelar Seminar dan Olimpiade.

Washilah
Baligho Seminar dan Olimpiade Biologi Sains
Online—Bermacam-macam cara bisa dilakukan untuk mensosialisasikan jurusan, mulai dari terjun langsung ke sekolah-sekolah, sampai perkenalan melalui internet. Namun, hal yang sedikit berbeda dilakukan oleh HMJ Biologi, Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin, mereka melakukan sosialisasi dengan menggelar Olimpiade Biologi tingkat SMA dan MA sederajat se-Makassar dan Gowa,

Selain olimpiade, Kegiatan yang sedianya digelar pada 24 hingga 25 April mendatang ini, akan dibarengi dengan Seminar Nasional dengan dua tema berbeda, yakni Penyuluhan Narkoba serta Urgensi Gizi Terhadap kesehatan Reproduksi.

Menurut ketua HMJ Biologi Sains, Muhammad Aqsa, digelarnya kegiatan ini untuk pencarian  bibit-bibit muda untuk Olimpiade Tingkat Nasional “selain sebagai ajangnya kami untuk mencari bibit muda, ini juga kami jadikan ajang sosialisasi Biologi sains sebagai ilmu biologi murni yg memliki prospek calon peneliti muda, yang dapat memberikan solusi terhadap permasalahan di masyarakat,” ungkapnya.

Terkait seminar, Pria berbadan tambun ini berharap, dengan digelarnya Seminar ini, mereka kembali merefleksi dampak dan bahaya negatif narkoba pada pelajar dan mahasiswa “dalam seminar reproduksi, kami berharap bisa mengenalkan sejak dini tentang arti penting gizi terhadap produksi hormon yang sangat berpengaruh pada tingkat kesuburan reproduksi, sebagaimana kita sadari pelajar dan mahasiwa sekarang, banyak yang menganggap enteng makanan yg dikonsumsi sehari-hari”

Reporter : Luqman Zainuddin


BNN Sambangi UIN

Natsir Siola, saat menerima Delegasi BNN di ruangnnya.

Washilah Online—Bukti kepedulian yang besar akan bahaya dan penyebarluasan Narkotika, bahkan di tingkat Universitas benar-benar ditunjukkan Badan Narkotika Nasional (BNN) Sulawesi Selatan, terbukti dengan hadirnya mereka di Gedung Rektorat Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin beberapa waktu yang lalu. Senin (15/04/2013)

Selain berniat melakukan perkenalan, kedatangan mereka, yang langsung disambut oleh Pembantu Rektor Bidang kemahasiswaan, Dr Natsir Siola MA, serta kepala Biro Kemahasiswaan Dra Nuraeni Gani ini, juga bermaksud untuk membangun jaringan di UIN.

Menurut Richard M Mainggolang, kedepannya mereka berharap bisa membangun jaringan dan Organisasi yang berorientasi pada pencegahan Narkotika di UIN “sifatnya nanti pengkaderan, selain itu kami berharap, tindak lanjut kedepannya, kami diizinkan untuk melakukan sosialisasi-sosialisasi terkait bahaya barang-barang terlarang ini” terangnya.

Selain UIN, menurut Richard, nantinya akan dilakukan hal semacam ini di beberapa universitas lain seperti Universitas Hasanuddin, Universitas negeri Makassar, Universitas Muslim Indonesia “jika perlu semua universitas di Sul-Sel akan kami datangi,” tambahnya.

Dalam kesempatan yang sama, Dr Natsir Siola MA juga menjelaskan salah satu Program yang dimiliki UIN dan diharapkan bisa membuat mahasiswa menjauhi hal-hal semacam itu “kami punya CBT, didalamnya itu ada satu kegiatan yang namanya Resolusi Hidup, mereka akan melakukan pernyataan untuk tidak mendekati hal-hl negatif” ungkapnya.

Ia juga menawarkan ke pihak BNN, untuk membawakan materi  terkait Bahaya Narkotika pada Kuliah Umum penerimaan mahasiswa baru, September mendatang.

Reporter : Luqman Zainuddin

MPM Adakan Seminar Kampus Qurani

Natsir Siola Saat memberikan Sambutan
Washilah Online--Mewujudkan kampus yang berbasis Qurani merupakan tujuan dari dilaksanakannya seminar ini. Hal ini dikemukakan  ketua panitia Muhammad Jalil, dalam laporannya pada Seminar Kampus Pendidikan Islam, yang di gelar Oleh Mahasiswa Pecinta Mesjid (MPM) Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin. Sabtu (20/4/2013).

Dalam Kegiatan tersebut, turut pula hadir, Pembantu Rektor bidang Kemahasiswaan DR Natsir Siola MA. Dalam sambutannya, ia mengungkapkan bahwa kegiatan seminar ini diharapkan bisa dilanjutkan dan menjadi program tetap MPM kedepan.

Ia juga memberi apresiasi terhadap MPM karena baru berumur satu tahun tetapi bisa mewarnai kehidupan kampus “meskipun baru berumur satu tahun tetapi mampu memberikan warna terhadap kehidupan kampus” jelasnya.

DR Abdullah MAg, Pembina MPM mengemukakan bahwa kampus UIN Alauddin Makassar  sudah Qurani, karena menurutnya syarat qurani yaitu adanya kegiatan yang baik dan juga kegiatan yang tidak baik dan itu ada dalam kehidupan kampus ini “ kampus ini sebenarnya sudah Qurani” paparnya.

Pada kesempatan yang sama, Zulkifli, ketua Umum MPM mengungkapkan bahwa kegiatan Seminar Pendidikan Islam merupakan wujud partisipasi dari MPM untuk membantu pihak Universitas dalam menjalankan visi misi Universitas “ MPM akan membantu menjalankan visi misi kampus” tutur laki-laki yang baru saja melaksanakan KKN ini.

Reporter : Asrul








PR III : “MPM Akan Jadi UKM”

Natsir Siola saat memberikan sambutan
Washilah Online-Mahasiswa Pencinta Masjid (MPM) turut berbahagia atas berita gembira yang diungkapkan pembantu Rektor Bidang kemahasiswaan DR Natsir Siola MA bahwa MPM diharapkan kedepannya mampu menjadi Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM).

Hal ini di kemukakan pada saat membawakan sambutan dalam Seminar Pendidikan Islam “Mewujudkan Kampus yang Berbasis Qurani” di Auditorium kampus II Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar. Sabtu (20/04/2013).

Menurutnya MPM ini layak menjadi UKM karena organisasi ini baru berumur satu tahun namun mampu membuat kehidupan kampus lebih berwarna dan lebih penting menurutnya ialah kegiatan yang ia lakukakan selalu bersifat positif dan tidak suka demonstrasi.

“kami berharap kepada kakanda dekan fakultas Tarbiyah agar bisa membantu MPM agar bisa menjadi UKM” tuturnya, ia juga menambahkan bahwa pihak Universitas akan memberikan bantuan kepada MPM dalam menjalankan kegiatan-kegiatan yang bersifat nasional nantinya.

Reporter:  Asrul

Jumat, 19 April 2013

Serunya bermain Tennis Meja di Fakultas Tarbiyah

Bermain dobel mahasiswa dan dosen

Mappasiara saat menangkis serangan lawan

Mahasiswa yang menyaksikanpun menikmati serunya permainan

Smesh kencang oleh Mahasiswa, tak mau kalah dengan dosen  

PR III: Mari Bangun Peradaban


Pembantu Rekto III Uin
Washilah Online-- Membangun  Kampus peradaban adalah cita-cita dan harapan kita semua yang ada dalam lingkungan masyarkat Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar, Jika itu keinginan kita bersama maka kita perlu integritas seluruh  aspek yang ada dalam lingkup kampus ini, jum,at  (19/04/2013).

Hal ini dikatakan oleh Pembantu Rektor III Bidang Kemahsiswaan Dr Natsir Siola, beberapa hari  yang  lalu, Ketika kita ingin membangun kampus peradaban maka kita harus mengawali dari integritas dari semua aspek dalam kampus.seperti pimpinan kampus dosen,pegawai dan mahasiswa.

"Para Pimpinan, Dosen, pegewai yang ada dilingkup UIN harus memeliki rasa tanggung jawab yang besar dalam membangun kampus peradaban ini dengan rajin masuk mengajar sementara pegewai harus cepat hadir, melayani mahasiaw dengan baik," terang Dr Natsir Siola.

Natsir juga  menambahkan, bahwa mahasiswa juga harus memiliki rasa yang besar dalam membangun kampus peradaban ini, dengan melahirkan kreativitas dan rajin masuk kuliah "Jika kita semua ingin mewujudkan kampus peradaban ini maka semua aspek yang ada dalam lingkungan UIN harus beradab,"  ungkapnya.

Mari kita bangun kampus peradaban dengan memulai dari para dosen dan pegawai yang ada di kampus ini, tidak terlupa para mahasiswa, ungkap nya

Reporter  : Lin

Kamis, 18 April 2013

Anak Muda & Seks Bebas: "Yang Muda Yang Ber-Zina"


Gambar Illustrasi
Oleh: Abdurrahman SHi

Jika dahulu kata "seks", "Keperawanan", dan istilah lain yang berkaitan dengan hubungan pasangan suami istri (pasutri) bagi sebagian besar masyarakat Indonesia merupakan sesuatu istilah yang tabu untuk diungkapkan ataupun didiskusikan. Saat ini bukan hanya istilah yang berkaitan dengan hubungan intim pasutri yang sudah menjadi topik yang lumrah untuk dibicarakan, namun, aktivitas intim atau seks sudah seakan menjadi budaya sebagian besar masyarakat Indonesia, terlebih generasi muda.
 
Budaya Pacaran yang hari ini diadopsi oleh sebagian besar generasi muda merupakan imitasi budaya tanpa proses filterisasi melalui sistem nilai dan standar moral bangsa yang berbudaya ini. Terlebih ruang-ruang rasionalitas, kebebasan berekspresi dan berpendapat, anak muda dan para pemimpin bangsa ini telah bercampur aduk dan dieksploitasi habis-habisan lewat instrumen globalisasi serta kemajuan teknologi informasi & komunikasi yang membawa pengaruh budaya baru.
Media Indonesia (6/1) mengutip Kantor Berita Antara menulis, ”85 Persen Remaja 15 Tahun Berhubungan Seks”. Warta Kota (11/2) memberi judul, ”Separo Siswa Cianjur Ngesek”. Kemudian, Harian Republika terbitan 1 Maret 2007 menulis, ”Penyakit Menular Seksual Ancam Siapa Pun”. Dalam berita itu ditulis pula, ”Hampir 50 persen remaja perempuan Indonesia melakukan hubungan seks di luar nikah.”

Berita di Republika mengutip hasil survei Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI). Survei dilakukan pada 2003 di lima kota, di antaranya Bandung, Jakarta, dan Yogyakarta. Hasil survei PKBI, yang juga dikutip Media Indonesia, menyatakan pula bahwa sebanyak 85 persen remaja berusia 13-15 tahun mengaku telah berhubungan seks dengan pacar mereka. Penelitian pada 2005 itu dilakukan terhadap2.488 responden di Tasikmalaya, Cirebon, Singkawang, Palembang, dan Kupang.

Ironisnya, menurut Direktur Eksekutif PKBI, Inne Silviane, hubungan seks itu dilakukan di rumah sendiri –rumah tempat mereka berlindung. Sebanyak 50 persen dari remaja itu mengaku menonton media pornografi, di antaranya VCD. Dari penelitian itu pula diketahui, 52 persen yang memahami bagaimana kehamilan bisa terjadi.

Penelitian lain dilakukan Annisa Foundation, seperti dikutip Warta Kota. Diberitakan, 42,3 persen pelajar SMP dan SMA di Cianjur telah melakukan hubungan seksual. Menurut pengakuan mereka, hubungan seks itu dilakukan suka sama suka, dan bahkan ada yang berganti-ganti pasangan. Penelitian ini dilakukan Annisa Foundation (AF) pada Juli-Desember 2006 terhadap 412 responden, yang berasal dari 13 SMP dan SMA negeri serta swasta.

Laila Sukmadewi, Direktur Eksekutif AF, mengatakan hubungan seks di luar nikah itu umumnya dilakukan responden karena suka sama suka. Hanya sekitar 9 persen dengan alasan ekonomi. ”Jadi, bukan alasan ekonomi. Yang lebih memprihatinkan, sebanyak 90 persen menyatakan paham nilai-nilai agama, dan mereka tahu itu dosa,” ujar Laila. Dijelaskan, sebagian besar mereka menggunakan alat kontrasepsi yang dijual bebas, sebanyak 12 persen menggunakan metode coitus interuptus.

Mengutip dari MetroTv News (27/2/2013) Kepala BKKBN Sudibyo Alimoeso mengatakan berdasarkan penelitian yang dilakukan pada 2010, sekitar 21 persen remaja terutama di daerah perkotaan diduga melakukan seks bebas atau seks di luar pernikahan.

"Data tersebut berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan 2010 dan sekarang indikasinya justru terus mengalami kenaikan," kata Sudibyo pada pertemuan dengan insan kesehatan di Banjarmasin, Rabu (27/2).

Menurut dia, salah satu indikasi kenaikan jumlah seks bebas tersebut adalah banyaknya kelahiran di kalangan remaja terutama di daerah perkotaan. Kelahiran di kalangan remaja tersebut, kata dia, antara lain karena pernikahan usia dini juga tidak menutup kemungkinan seks bebas tersebut.

[moga jadi bahan renungan dan perjuangan, amin]
el*
Makassar, 18 April 2013

*Penulis Adalah Mantan
Pimpinan Divisi Litbang UKM LIMA