Breaking News

laporan utama

Selasa, 31 Januari 2012

UKM KSR Buka Penerimaan Anggota Baru


Selasa, 31 Januari 2012 | Suryani Musi
Kegiatan KSR

Washilah Online-Anda punya jiwa sosial yang tinggi? Gabung saja di Unit Kegiatan Mahasisswa (UKM) KSR-PMI 107 Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar, Selasa (31/01/2012).

Apalagi pada saat ini UKM KSR-PMI lagi buka pendaftaran anggota baru angkatan XVII. Pendaftaran tersebut dimulai sejak 23 Januari sampai 25 Februari. Cukup ke depan Fakultas Syariah dan Hukum (FSH), di sana Anda akan menemui posko penerimaan anggota.

“Persyaratannya tidak berat. Cukup memperlihatkan blangko pembayaran SPP semester terakhir, mengisi formulisr pendaftaran, foto 2x3 dua lembar, dan 3x4 dua lembar,”kata ketua panitia Diklatsar, Afidatul 
Asmar.

Namun, tidak semua mahasiiswa bisa diterima. Lantaran ini hanya terbatas pada mahasiswa maksimal semester VI.

“Semester VI merupakan keputusan bersama hasil rapat. Tidak boleh lewat dari itu. Karena, di atas dari semester tersebut, mereka sudah sibuk menyusun skripsi,”tambah Nur Akbar.

Bagi anggota yng telah mendaftar akan melakukan tahap indoor mulai 03-04 Maret dan 10-11 Maret. Kemudian selanjutnya, tahap indoor mulai 14-18 Maret 2012.

Untuk informasi selanjutnya, bisa ke Markas kampus I UIN di Politeknik lama atau ke Markas Gedung Pusat Kegiatan Mahasisiwa (PKM) lantai III kampus II Samata Gowa, atau menghubungi contak person Afi, 085230908523, Akbar 085242062231.

Senin, 30 Januari 2012

Jurusan Akuntasi UIN Juara II Kompetisi Nasional di Unhas


Senin, 30 Januari 2012 | Suryani Musi
Sri Nirmala pakai jilbab putih dan Ahmad As'ad  Baju hitam kanan



Washilah Online-kali ini jurusan Akuntasi Fakultas Syariah dan Hukum (FSH) Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar mengharumkan nama UIN di ajang kompetisi Akuntasi tingkat Nasional kemarin Minggu, (29/01/2012).

Kompetisi tersebut berhasil mereka sabet setelah dua tim dari jurusan Akuntasi di UIN memasukkan paper untuk mengikuti seleksi Accounting Debat Competition yang dilaksanakan oleh Ikatan Mahasiswa Akuntasi Universitas Hasanuddin (Unhas). Kegiatan yang berskala nasional tersebut diikuti beberapa perguruan tinggi yang ada di Indonesia.

11 Januari pengumuman untuk ikut lomba telah ada setelah dinyatakan lulus paper. Dari 10 tim yang lolos tersebut Akuntasi UIN termasuk di dalamnya. Bersaing berat dari universitas lain seperti Universitas Widya Mandala Surabaya dengan 2 tim, Universitas Gadja Mada  (UGM) Yogyakarta dengan  1 tim, Universitas  Tadulako Palu dengan 1 tim, Politeknik Negeri Sriwijaya dengan 1 tim, STEI Tazkia Bogor dengan 1 tim, Univsitas Negeri Makassar (UNM) dengan  1 tim, Universitas Muhammadiyah Makassar dengan 1 tim, Unhas dengan 1 tim, serta UIN dengan 1 tim.


Perwakilan UIN Alauddin yang lolos ke tahap debat yaitu Ahmad As’ad dan Sri Nirmala Sari yang keduanya mahasiswa angkatan 2008 atau Semester VIII. Dengan judul paper, Internalisasi Nilai Zakat dalam Akuntansi Menuju Budaya Bisnis yang Adil.

Kemudian tiba pada hari yang paling dinanti, 27 Januari 2012 Tim UIN Alauddin  Makassar  dan 9 tim lainnya beradu kecerdasan lewat debat yang bertemakan Akuntasi Syariah: Solusi atau Ilusi yang digelar di Gedung PKP Unhas.

 Prosesnya cukup panjang kemudian tiba pada  pengundian,  tim UIN Alauddin Makassar melawan tim UNM dengan sub tema Accrual Basic dalam Akuntansi Syariah.   Tim dari UNM sebagai tim pro dan tim UIN sebagai tim kontra.

Hasilnya cukup manis. Ahmad as’ad dan Sri Nirmala Sari menyabet juara Runner Up (II) pada tanggal  29 Januari dan Juara I oleh Universitas Widya Mandala Surabaya dan Juara III oleh STEI Tazkia Bogor. Kategori Best Speaker dimenangkan oleh Ahmad As’ad dari UIN  sementara Best Paper dimenangkan oleh Unismuh Makassar.

“Ini adalah berkat support dari semua pihak kepada kami baik dari teman-teman di Akuntansi, Dosen, Pihak Jurusan serta Pihak Fakultas sehingga punya semangat dan dapat menampilkan yang terbaik.Kami juga berharap prestasi ini dapat dilanjutkan bagi adik-adik angkatan lain serta mendapat respon atau apresiasi dari pihak Fakultas serta Universitas bahwa kami punya kapabilitas dan menang di tingkat Nasional,”kata Sri Nirmala Sari didampingi oleh Ahmad As’ad.



Peradaban Atau Kebiadaban


Oleh Nur Mustaqimah
illustrasi

Universitas Islam Negeri (UIN) Makassar, dari namanya maka dapat ditebak bahwa UIN adalah sebuah kampus yang di dalamnya penuh dengan nuansa Islam, mahasiswa yang berperilaku seperti layaknya seorang muslim dan mata kuliah yang sarat dengan nilai-nilai Islam.

Saat pertama saya menginjakkan kaki di kampus hijau ini dalam rangka pendaftaran ulang mahasiswa baru, saya menjumpai sebuah gerbang besar dengan cat warna krem yang di atasnya terpampang besar tulisan “Universitas Islam Negeri”. Kampus ini adalah kampus II, kampus baru yang konon baru digunakan ditahun masukku, tahun 2010. Letaknya jauh dari keramaian kota, sepi dan sunyi lantaran tak ada sedikitpun kebisingan yang datang dari kendaraan-kendaraan bermotor. Namun, itu justru membuatku cukup nyaman, kutarik nafasku pelan dan relung hatiku berbisik, Tuhan memang selalu tau yang terbaik bagi umatnya dan menghadiahkanku sebuah kampus yang indah.

Memasuki gerbang kampus, aku melihat gedung-gedung yang cukup mewah. Dari arsitektur bangunannya, saya yakin arsitek yang merancangnya mengadopsi gaya bangunan Timur Tengah yang identik dengan warna krem dan bertekstur seperti masjid. Sejujurnya aku sangat mengagumi semua yang baru saja saya lihat, sebuah kampus dengan bangunan terbaik di daerah Makassar.

Setelah pendaftaran ulang, sebuah kegiatan penyambutan mahasiswa baru pun di mulai. Jika biasanya mahasiswa baru di hadapkan pada suatu masalah besar yang disuguhkan oleh seniornya dengan sebutan Ospek, maka kali ini digantikan dengan sebutan Opak. Cukup mengecoh, membuat bayangan-bayangan penyiksaan seperti yang diceritakan orang-orang tentang resiko berstatus mahasiswa baru menjadi lebih ringan di benakku.

Pendaftaran Opak ini diadakan oleh senior-senior yang lebih suka kupanggil dengan sebutan “Mata” atau Mahasiswa Tua di kampus I yang bertempat di jalan Alauddin Makassar. Cukup tersentak dengan apa yang saya saksikan kala itu, pemuda-pemuda berstatus sebagai mahasiswa tapi bergaya layaknya anak jalanan. Beberapa di antaranya berambut gonrong dengan celana jeans yang sobek di mana-mana. Salah satu di antaranya berambut gimbal tidak karuan yang sejenak membuatku tergelitik. Ternyata Mbah Surip, penyanyi legendaris yang terkenal dengan lagunya tak gendong, punya pengikut juga di kampus yang berlambangkan Islam ini. Mereka tampak begitu angkuh dengan status kesenioran mereka.

Formulir-formulir Opak seharga dua puluh ribu rupiah pun mulai dibagikan. Saya mengisinya dengan rasa muak, jengah, dan kecewa lantaran anggapanku yang mengagung-agungkan kampus dengan lambang Islam itu perlahan dilunturkan oleh mahasiswanya sendiri, mahasiswa yang menyebut diri mereka sebagai “Senior”. Tidak cukup sampai di situ, sebuah pertengkaran hebat antara para senior yang berebut jatah mahasiswa baru menghentakku. Mahasiswa yang berambut gimbal itu datang membawa balok besar dan memaki-maki mahasiswa baru yang bergerombolan di depan gedung yang baru saya tahu adalah sekertariat Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Tarbiyah dan Keguruan (FTK). Sungguh ironis, sebuah Universitas yang belambangkan Islam malah di huni oleh orang-orang yang menganggap mereka mahasiswa namun tak menunjukkan refleksi dari kata mahasiswa (Maha;paling tinggi) itu sendiri. 

Pemikiran memvonisku spontan keluar, “Apa bedanya mahasiswa Universitas Islam dengan mahasiswa Universitas Negeri lain ? Apa kata Islam hanya berwujud sebuah lambang untuk menunjukkan pada banyak orang bahwa di dalamnya ada sebuah Peradaban Islam yang Maha Mulia ?”

Perhelatan penyambutan mahasiswa baru pun diadakan dua hari berikutnya. Bertempat di gedung auditorium kampus II, gedung dengan arsitektur yang membuatku kagum untuk kedua kalinya ini sedikit membuatku lupa tentang apa yang telah aku saksikan di kampus I dihari sebelumnya. Saya mengenakan seragam wajib bagi mahasiswa baru, begitu pula dengan yang lainnya. Baju putih yang dipasangkan dengan rok dan jilbab hitam. Saya memilih duduk di lantai dua. Di depan ada Rektor dan orang-orang birokrasi kampus lainnya. Hari itu adalah hari yang benar-benar membuatku takjub pada diriku sendiri, status mahasiswa telah ada di tanganku dan sekali lagi saya berhasil melangkah lebih maju lagi untuk meraih impian walaupun jurusan yang berhasil saya masuki bukanlah jurusan yang telah lama saya idam-idamkan. Namun saya percaya, Tuhan tahu yang mana yang lebih pantas untukku.

Acara dimulai, semua mahasiswa tampak serius mengikutinya. Hingga sekitar kurang lebih satu jam kemudian, sebuah pecahan kaca mengagetkan seisi gedung, lalu teriakan-teriakan dari mahasiswa yang duduk di lantai satu semakin riuh. Saya dan mahasiswa lainnya yang duduk di lantai dua berusaha menyaksikan apa yang terjadi di bawah. Semua mahasiswa di sana terlihat bergerombolan ke depan tempat orang-orang birokrasi kampus berkumpul. Rasa takutku mulai berkecamuk dan semakin tak tertahan ketika saya menyaksikan mahasiswa-mahasiswa yang menganggap dirinya adalah senior namun tak beretika menyerbu masuk ke dalam gedung dengan membawa patahan-patahan kayu besar. 

Tampak orang-orang birokrasi kampus berusaha menghentikan kebrutalan orang-orang yang lebih tepat di sebut sebagai orang gila itu. Pak Rektor terdengar terus meneriakkan kata “Allahu Akbar” secara berulang kali. Otakku dipenuhi dengan tanda tanya tentang apa yang sebenarnya tengah tejadi, apa permasalahannya dan apa yang harus dilakukan untuk menghentikannya.


Setelah kebrutalan itu berhasil dihentikan, semua mahasiswa diperintahkan pulang dan jadwal perkuliahan yang semula dijadwalkan lebih awal kemudian diundur. Saya lalu tahu, masalahnya adalah sebuah perebutan mahasiswa baru untuk kegiatan yang disebut Opak antara BEM Fakultas dan BEM Universitas. Ketakutan-ketakutan yang menggelayuti kami sebagai mahasiswa baru menjadi sebuah kesan pertama yang buruk dan tidak layak untuk disimpan di memori kami untuk kemudian kami kenang kelak. 

 Kekaguman-kekaguman terhadap kampus hijau itu seketika terganti menjadi sebuah vonis buruk, kampus yang awalnya saya kira sebagai kampus peradaban Islam terganti menjadi kampus biadab. Sungguh miris dan memalukan. Sebagai ganti untuk kekecewaan itu, Rektor memutuskan men-drop out mahasiswa-mahasiswa yang telah mengacaukan acara itu sekaligus merusak fasilitas kampus. Sebuah keputusan bijak namun tidak cukup bagiku untuk begitu saja menghapus moment buruk di hari itu. 

Teringat olehku pernyataan seorang demonstran sekaligus penulis handal di era enam puluh-an, Soek hoe gie, “Masih terlalu banyak mahasiswa yang bermental sok kuasa. Merintih kalau ditekan, tetapi menindas kalau berkuasa. Mementingkan golongan, ormas, teman seideologi dan lain-lain. Setiap tahun datang adik-adik saya dari sekolah menengah. Mereka akan jadi korban-korban baru untuk ditipu oleh tokoh-tokoh mahasiswa semacam tadi”.


Hingga kini  ingatan itu masih lekat tersimpan di memoriku, susah terhapus dengan apapun. Sekarang saya sudah menginjak semester tiga, banyak hal yang membuatku masih jengah, beberapa dosen yang malas mengajar dan tidak disiplin, format bimbingan praktikum yang terkesan gagap teknologi, sampai persaingan tidak sehat di dunia politik kampus yang secara nyata saya saksikan, tindak suap menyuap yang menandakan sebuah dunia hedonisme di kampus peradaban Islam. Walaupun juga tak sedikit hal yang mulai membangun kepercayaanku terhadap kampusku sendiri sedikit demi sedikit, bertemu dengan orang-orang cerdas dan berpikiran luas. Beberapa waktu lalu sebuah Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) menerimaku menjadi bagian di dalamnya, yang membuatku belajar tentang arti sebuah proses dan banyak hal lagi.

Saya lagi-lagi teringat sebuah impian dari Soek hoek gie, “Mimpi saya yang terbesar, yang ingin saya laksanakan adalah, agar mahasiswa Indonesia berkembang menjadi manusia-manusia yang biasa. Menjadi pemuda-pemuda dan pemudi-pemudi yang bertingkah laku sebagai seorang manusia yang normal, sebagai seorang manusia yang tidak mengingkari eksistensi hidupnya sebagai seorang mahasiswa, sebagai seorang pemuda dan sebagai seorang manusia. Saya ingin melihat mahasiswa-mahasiswa, jika sekiranya ia mengambil keputusan yang mempunyai arti politis, walau bagaimana kecilnya, selalu didasarkan atas prinsip-prinsip yang dewasa. Mereka yang berani menyatakan benar sebagai kebenaran, dan salah sebagai kesalahan. Dan tidak menerapkan kebenaran atas dasar agama, ormas, atau golongan apapun”.

Semoga kelak itu akan terwujud. Entah kapan…, saya juga menantikan saat-saat itu.



Penulis adalah anggota Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) LIMA Washilah

Peradaban Atau Kebiadaban

Oleh Nur Mustaqimah
Universitas Islam Negeri (UIN) Makassar, dari namanya maka dapat ditebak bahwa UIN adalah sebuah kampus yang di dalamnya penuh dengan nuansa Islam, mahasiswa yang berperilaku seperti layaknya seorang muslim dan mata kuliah yang sarat dengan nilai-nilai Islam.

Saat pertama saya menginjakkan kaki di kampus hijau ini dalam rangka pendaftaran ulang mahasiswa baru, saya menjumpai sebuah gerbang besar dengan cat warna krem yang di atasnya terpampang besar tulisan “Universitas Islam Negeri”. Kampus ini adalah kampus II, kampus baru yang konon baru digunakan ditahun masukku, tahun 2010. Letaknya jauh dari keramaian kota, sepi dan sunyi lantaran tak ada sedikitpun kebisingan yang datang dari kendaraan-kendaraan bermotor. Namun, itu justru membuatku cukup nyaman, kutarik nafasku pelan dan relung hatiku berbisik, Tuhan memang selalu tau yang terbaik bagi umatnya dan menghadiahkanku sebuah kampus yang indah.
Memasuki gerbang kampus, aku melihat gedung-gedung yang cukup mewah. Dari arsitektur bangunannya, saya yakin arsitek yang merancangnya mengadopsi gaya bangunan Timur Tengah yang identik dengan warna krem dan bertekstur seperti masjid. Sejujurnya aku sangat mengagumi semua yang baru saja saya lihat, sebuah kampus dengan bangunan terbaik di daerah Makassar.
Setelah pendaftaran ulang, sebuah kegiatan penyambutan mahasiswa baru pun di mulai. Jika biasanya mahasiswa baru di hadapkan pada suatu masalah besar yang disuguhkan oleh seniornya dengan sebutan Ospek, maka kali ini digantikan dengan sebutan Opak. Cukup mengecoh, membuat bayangan-bayangan penyiksaan seperti yang diceritakan orang-orang tentang resiko berstatus mahasiswa baru menjadi lebih ringan di benakku.
Pendaftaran Opak ini diadakan oleh senior-senior yang lebih suka kupanggil dengan sebutan “Mata” atau Mahasiswa Tua di kampus I yang bertempat di jalan Alauddin Makassar. Cukup tersentak dengan apa yang saya saksikan kala itu, pemuda-pemuda berstatus sebagai mahasiswa tapi bergaya layaknya anak jalanan. Beberapa di antaranya berambut gonrong dengan celana jeans yang sobek di mana-mana. Salah satu di antaranya berambut gimbal tidak karuan yang sejenak membuatku tergelitik. Ternyata Mbah Surip, penyanyi legendaris yang terkenal dengan lagunya tak gendong, punya pengikut juga di kampus yang berlambangkan Islam ini. Mereka tampak begitu angkuh dengan status kesenioran mereka.
Formulir-formulir Opak seharga dua puluh ribu rupiah pun mulai dibagikan. Saya mengisinya dengan rasa muak, jengah, dan kecewa lantaran anggapanku yang mengagung-agungkan kampus dengan lambang Islam itu perlahan dilunturkan oleh mahasiswanya sendiri, mahasiswa yang menyebut diri mereka sebagai “Senior”. Tidak cukup sampai di situ, sebuah pertengkaran hebat antara para senior yang berebut jatah mahasiswa baru menghentakku. Mahasiswa yang berambut gimbal itu datang membawa balok besar dan memaki-maki mahasiswa baru yang bergerombolan di depan gedung yang baru saya tahu adalah sekertariat Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Tarbiyah dan Keguruan (FTK). Sungguh ironis, sebuah Universitas yang belambangkan Islam malah di huni oleh orang-orang yang menganggap mereka mahasiswa namun tak menunjukkan refleksi dari kata mahasiswa (Maha;paling tinggi) itu sendiri. Pemikiran memvonisku spontan keluar, “Apa bedanya mahasiswa Universitas Islam dengan mahasiswa Universitas Negeri lain ? Apa kata Islam hanya berwujud sebuah lambang untuk menunjukkan pada banyak orang bahwa di dalamnya ada sebuah Peradaban Islam yang Maha Mulia ?”.
Perhelatan penyambutan mahasiswa baru pun diadakan dua hari berikutnya. Bertempat di gedung auditorium kampus II, gedung dengan arsitektur yang membuatku kagum untuk kedua kalinya ini sedikit membuatku lupa tentang apa yang telah aku saksikan di kampus I dihari sebelumnya. Saya mengenakan seragam wajib bagi mahasiswa baru, begitu pula dengan yang lainnya. Baju putih yang dipasangkan dengan rok dan jilbab hitam. Saya memilih duduk di lantai dua. Di depan ada Rektor dan orang-orang birokrasi kampus lainnya. Hari itu adalah hari yang benar-benar membuatku takjub pada diriku sendiri, status mahasiswa telah ada di tanganku dan sekali lagi saya berhasil melangkah lebih maju lagi untuk meraih impian walaupun jurusan yang berhasil saya masuki bukanlah jurusan yang telah lama saya idam-idamkan. Namun saya percaya, Tuhan tahu yang mana yang lebih pantas untukku.
Acara dimulai, semua mahasiswa tampak serius mengikutinya. Hingga sekitar kurang lebih satu jam kemudian, sebuah pecahan kaca mengagetkan seisi gedung, lalu teriakan-teriakan dari mahasiswa yang duduk di lantai satu semakin riuh. Saya dan mahasiswa lainnya yang duduk di lantai dua berusaha menyaksikan apa yang terjadi di bawah. Semua mahasiswa di sana terlihat bergerombolan ke depan tempat orang-orang birokrasi kampus berkumpul. Rasa takutku mulai berkecamuk dan semakin tak tertahan ketika saya menyaksikan mahasiswa-mahasiswa yang menganggap dirinya adalah senior namun tak beretika menyerbu masuk ke dalam gedung dengan membawa patahan-patahan kayu besar. Tampak orang-orang birokrasi kampus berusaha menghentikan kebrutalan orang-orang yang lebih tepat di sebut sebagai orang gila itu. Pak Rektor terdengar terus meneriakkan kata “Allahu Akbar” secara berulang kali. Otakku dipenuhi dengan tanda tanya tentang apa yang sebenarnya tengah tejadi, apa permasalahannya dan apa yang harus dilakukan untuk menghentikannya.

Setelah kebrutalan itu berhasil dihentikan, semua mahasiswa diperintahkan pulang dan jadwal perkuliahan yang semula dijadwalkan lebih awal kemudian diundur. Saya lalu tahu, masalahnya adalah sebuah perebutan mahasiswa baru untuk kegiatan yang disebut Opak antara BEM Fakultas dan BEM Universitas. Ketakutan-ketakutan yang menggelayuti kami sebagai mahasiswa baru menjadi sebuah kesan pertama yang buruk dan tidak layak untuk disimpan di memori kami untuk kemudian kami kenang kelak.
 Kekaguman-kekaguman terhadap kampus hijau itu seketika terganti menjadi sebuah vonis buruk, kampus yang awalnya saya kira sebagai kampus peradaban Islam terganti menjadi kampus biadab. Sungguh miris dan memalukan. Sebagai ganti untuk kekecewaan itu, Rektor memutuskan men-drop out mahasiswa-mahasiswa yang telah mengacaukan acara itu sekaligus merusak fasilitas kampus. Sebuah keputusan bijak namun tidak cukup bagiku untuk begitu saja menghapus moment buruk di hari itu. Teringat olehku pernyataan seorang demonstran sekaligus penulis handal di era enam puluh-an, Soek hoe gie, “Masih terlalu banyak mahasiswa yang bermental sok kuasa. Merintih kalau ditekan, tetapi menindas kalau berkuasa. Mementingkan golongan, ormas, teman seideologi dan lain-lain. Setiap tahun datang adik-adik saya dari sekolah menengah. Mereka akan jadi korban-korban baru untuk ditipu oleh tokoh-tokoh mahasiswa semacam tadi”.

Hingga kini  ingatan itu masih lekat tersimpan di memoriku, susah terhapus dengan apapun. Sekarang saya sudah menginjak semester tiga, banyak hal yang membuatku masih jengah, beberapa dosen yang malas mengajar dan tidak disiplin, format bimbingan praktikum yang terkesan gagap teknologi, sampai persaingan tidak sehat di dunia politik kampus yang secara nyata saya saksikan, tindak suap menyuap yang menandakan sebuah dunia hedonisme di kampus peradaban Islam. Walaupun juga tak sedikit hal yang mulai membangun kepercayaanku terhadap kampusku sendiri sedikit demi sedikit, bertemu dengan orang-orang cerdas dan berpikiran luas. Beberapa waktu lalu sebuah Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) menerimaku menjadi bagian di dalamnya, yang membuatku belajar tentang arti sebuah proses dan banyak hal lagi.

Saya lagi-lagi teringat sebuah impian dari Soek hoek gie, “Mimpi saya yang terbesar, yang ingin saya laksanakan adalah, agar mahasiswa Indonesia berkembang menjadi manusia-manusia yang biasa. Menjadi pemuda-pemuda dan pemudi-pemudi yang bertingkah laku sebagai seorang manusia yang normal, sebagai seorang manusia yang tidak mengingkari eksistensi hidupnya sebagai seorang mahasiswa, sebagai seorang pemuda dan sebagai seorang manusia. Saya ingin melihat mahasiswa-mahasiswa, jika sekiranya ia mengambil keputusan yang mempunyai arti politis, walau bagaimana kecilnya, selalu didasarkan atas prinsip-prinsip yang dewasa. Mereka yang berani menyatakan benar sebagai kebenaran, dan salah sebagai kesalahan. Dan tidak menerapkan kebenaran atas dasar agama, ormas, atau golongan apapun”.
Semoga kelak itu akan terwujud. Entah kapan…, saya juga menantikan saat-saat itu.



Penulis adalah anggota Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) LIMA Washilah

Rabu, 25 Januari 2012

Anggota UKM LIMA Washilah Dapat Beasiswa ke Amerika


Rabu, 25 Januari 2012 | Suryani Musi
iksan pakai baju putih

Washilah Online-Salah seorang anggota Unit Kegiatan Mahasisswa (UKM) Lembaga Informatika Mahasisswa Alauddin (LIMA) Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar mendapat beasiswa ke Amerika tepatnya di negara bagian Virginia atau di Virginia Tech University.

Namanya Ikhsan Mahar. Kerap dipanggil Ikhsan. Ia adalah mahasiswa Bahasa dan Sastra Inggris (BSI) Fakultas Adab dan Humaniora (FUH) sementer V. 

Laki-laki kelahiran Makasar namun besar di Ibu Kota Jakarta ini telah mendambakan untuk kuliah dan menuntut ilmu di negeri Paman Sam, Amerika sana. Pada akhirnya, cita-cita tersebut terjawab ketika mendapatkan beasiswa untuk belajar di Amerika selama dua bulan melalui beasiswa Indonesian Englsh Languange Study Program (IELSP).

“Saya tahu beasiswa ini sejak semester I. Tapi persayaratannya musti minimal semester V. Jadi, pas semester IV saya sudah ambil tes TOEFL dan Alhamdulillah alhsil tesnya cukup baik dan memenuhi persayaratan untuk mendaftar,”kata laki-laki yang punya hobi menyiar dan menulis ini.

Ditanya di mana ia  tahu program beasiswa tersebut, jawabannya mengejutkan. Ia mendapat melalui kegemarannya berselancar di dunia maya kemudian mendapatkan informasi seputar beasiswa ke luar negeri.
Jadilah ia kemudian mengirim berkasnya pada bulan November 2011. Pada 10 Desemebr ia mengikuti tes wawancara setelah dinyatakan lulus berkas. Kemudian pada 29 Desemeber 2011 ia kemudian mendapat pengumuman via telepon bahwa ia lulus mendapat beasiswa IELSP tersebut. Hanya dua orang yang mendapatkan beasiswa tersebut Se-sulawesi Selatan, satunya dari universitas lain.

Kendati masih lama akan berangkat, yakni 18 Agustus 2012 namun ia berusaha mempersipkan dirinya untuk belajar abnyak tentang budaya Indonesia. “Karena saya tidak bisa menari tradisional, jadinya saya akan belajar banyak baju tradisional Indonesia untuk diperkenalkan  di sana,”kata laki-laki kelahiran 12 Oktober 1991 ini.

Dalam waktu dua  bulan menuntut ilmu di Virginia namun ia akan belajar Bahasa Inggris for academic porpuse ia juga akan belajar singkat akan kebudayaan orang di sana.

Selain itu, karena ia punya bakat menulis novel sejak dulu meskipun noverlnya belum tembus ke penerbit di Jakarta, namun ia akan menulis detik-detika perjalaannnya ke sana. 

“Mungkin perjalanannya bisa dijadikan novel. Tapi nantinya saya akan gabungkan dengan perjalanan lainnya. Sekarang ini bukan perjalannan satu-satunya, namun akan ada jalan lain. Ini merupakan pembuka jalan-jalan lainnya yang akan saya tempuh,”papar Iksan

Jalan lain yang dimaksud oleh sosok yang punya prinsip beranilah bermimpi, Tuhan akan menuntunmu untuk meraih mimpi tersebut, ini akan menempuh pendidikan dengan S2 ke Eropa. 

Ditanya tentang persiapan dirinya dengan iklim yang jauh dengan Indonesia, laki-laki pemilik lesun pipi ini menyatakan bahwa untuk sementara ia persipakan berkas-berkasnnya terutama untuk pembuaan visa. Untuk iklim di sana kebetulan juga musim panas dan musim gugur jadi tidak terlalu jauh dengan Indonesia.

“Untuk makanan, insya Allah kagak ada masalah. Tapi untuk jaga-jaga  saya akan siapin 10 bungkus indomie karena di sana indomienya harganya jauh di banding Indonesia,”katanaya seraya tertawa. Good luck!